Selesai sarapan, semua sudah siap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan. Menjalani rutinitas dan siap berangkat ke tujuannya masing-masing untuk menggapai impian. Namun ada yang tak biasa terlihat sejak pagi ini. Halaman rumah Mama Ocha jadi dipenuhi mobil. Sedangkan garasi hanya memuat satu mobil dan satu motor saja. Sebelumnya, hanya satu mobil sedan merah dan satu motor matic yang keluar masuk rumah bergaya minimalis itu. Kini, bertambah dua kendaraan roda empat yang nongrong di halaman. Satu model Jeep keluaran Eropa milik Igo, satu lainnya Pajero hitam milik Papa Juno.
Menyaksikan betapa tak nyamannya pemandangan, serta sempitnya halaman, Papa Jun yang perhitungan, mengutarakan niatnya.
“Sepertinya kita kebanyakan mobil, nggak muat kalau semua masuk pekarangan rumahmu. Gimana kalau punyaku ditaruh di resto saja, biar aku numpang kamu aja, ya, Sayang?”
Mama Ocha tersenyum, lalu menjawabnya. “Tak apa-apa, aku bisa antar jemput kamu, kok. Kan kita satu arah.”
Igo yang turut mendengar, mendelik ke arah papanya lalu berkata, “apa nggak kebalik, Pa? Yang betul itu Papa yang antar jemput Tante ... eh Mama Ocha!”
Mata Papa Jun otomatis melotot tajam. Lalu mengarahkan kedua jarinya ke kedua matanya dan ke arah mata Igo bergantian, tanda memperingatkan.
“Gak apa-apa, sama aja. Toh kita sekarang sudah jadi keluarga. Ayuk, siap-siap Igo, nanti terlambat sampai kampus!” sahut Mama Ocha mencoba mendamaikan.
Setelah berpamitan kepada ibu sambungnya, Igo pun berlalu menuju mobilnya dengan kesal.
Igo sudah berada di mobilnya. Ia menghidupkan dan mulai menggerakkan kendaraannya perlahan. Namun baru saja keluar pekarangan, Igo berhenti. Dari kaca spion samping, ia melihat Kika sedang kesulitan. Kika sedang berusaha menghidupkan motor yang sudah lama tak digunakan. Gadis berjaket kulit cokelat itu terlihat beberapa kali menstarter, tetapi tak kunjung menyala. Igo pun turun menghampiri Kika
“Kenapa? Gak bisa dihidupin?” tanyanya seraya meneliti badan motor.
“Tau nih! Sial memang ini motor. Giliran gue mau pake, ngadat!” jawabnya sambil menyeka keringat di dahinya.
“Lo sih gak rajin ngerawatnya. Gak dipake dalam jangka waktu lama itu bukan berarti didiemin. Tetap harus perawatan. Ya udah! Lo ikut gue aja. Biat nanti gue minta bantuan bengkel temen buat benerin. Ayok, buruan! Keburu telat ni!”
Mau tak mau Kika meninggalkan motornya yang tak kunjung menyala. Sebelum masuk ke mobil Igo, Kika menutup pagar pekarangan. Mobil pun bergerak meninggalkan rumah.
Jalanan Jakarta mulai padat. Sepanjang perjalanan, Igo dan Kika diawali dengan saling membisu. Kika yang biasanya suka mendahului serta selalu menguasai pembicaraan, kali ini memilih diam.
“Seandainya bukan suasana begini, gue pasti bahagia banget bisa semobil terus sama lo. Serumah pula!” Akhirnya, Igolah yang membuka obrolan.
Namun Kika menjawabnya dengan ketus. “Lho, kan ini yang lo mau. Lo sendiri yang mutusin buat jalanin hidup kayak gini, bukan? Kenapa berandai-andai?”
“Gak gitu juga, Ka! Ini sudah terjadi dan tetap akan kita jalani. Maksud gue itu, coba kalau gak ada yang terjadi dengan orangtua kita. Pasti lain kisahnya. Situasi seperti ini mungkin akan indah jika kita yang jadi pemeran utamanya.”
‘Maksud lo? Lo nyesel? Ah Igo, sumpah gue gak ngerti apa yang lo pikirin!”
“Seandainya pemeran utamanya kita, bukan orang tua kita, Kikuk...!”
“Tambah ngaco! Udah tau lo sendiri yang pengen jalanin hidup kayak gini. Masih aja mimpi!”
“Ya ... Siapa tau mimpi gue jadi kenyataan. Kelak, suatu hari ....”
“Woy! Bangun, Woy! Lama-lama gue bisa ikutan sinting kayak lo! Turun, turunin gue di sini aja sudah!”
Mobil pun berhenti setelah Kika minta diturunkan. Kika terkaget, ia tak mengira Igo benar-benar marah hingga menuruti perintahnya. Kika menatap Igo dengan cemas. Kika meneliti sorot mata amarah dari mata Igo, namun tak ia temukan.
“Go ....”
“Ya udah, kamu turun aja di sini! Orang kita udah sampai kok!”
Sontak Kika melihat ke luar kaca mobil, dan ternyata mobil Igo sudah berada di depan kampusnya. Kika pun turun dengan bersungut-sungut. Bukan marah, tetapi karena malu. Namun sebelum turun dari mobil Igo, Kika menyempatkan diri untuk berpesan kepada Igo.