Seperti biasa pagi itu seluruh anggota keluarga baru itu berkumpul di ruang makan. Hidangan sarapan sudah tersaji di meja. Kika dan Igo yang duduk berhadapan tak berhenti beraksi. Kali ini Igo yang memulai aksinya dengan menyentuh-nyentuh kakinya ke kaki Kika di bawah meja. Kika yang terkesan bete, semakin kesal dengan ulah Igo. Ditendangnya tulang kering kaki Igo sehingga mengaduh dan meringis.
Mama Ocha kaget mendengar suara erangan tertahan dari mulut anak tirinya. “Lho, kenapa Igo?”
Dengan gugup, Igo menjawab, “Emh, nggak. Eh ini, Tante eh Mama ... Sop tulang iganya enak banget, sampai lidahku kegigit.”
Mama Ocha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum bahagia, karena tersanjung ucapan Igo. “Ooh, kirain kenapa ....”
Igo melotot ke arah Kika. Kika membalasnya dengan meledek sambil meleletkan lidahnya.
“O iya, Ka! Motormu gimana, kapan bisa diambil?”
“Udah selesai sih, Ma. Tapi aku belum sempet ambil. Belum ada waktu. Sekarang kan ada bodyguard. Jadi susah ke mana-mana. Kuliah diantar-jemput, pulang langsung diantar ke butik Mama,” sindir Kika ditujukan kepada Igo.
Papa Juno yang dari tadi hanya sebagai pendengar, kini turut berbicara. “Gak apa-apa, itung -itung sekalian jalan, kan? Disamping lebih hemat, nggak terlalu cape juga diperjalanan. Ya, nggak?”
“Ngomong sama Papa tetep main itung-itungan mulu!” tukas Igo membuat papanya sedikit tersinggung.
“Omongan lo gak pernah dijaga. Gak sopan sama Bos lo! Inget, gue tu bos lo, tau?”
“Mas! Nggak gitu ah sama anak sendiri!” sela Mama Ocha membela Igo.
Tanpa memedulikan ucapan istrinya, Papa Jun melanjutkan makannya dengan muka kesal.
“Biarin aja deh, nggak usah diambil dulu, Ma! Aku belum perlu kayaknya. Aku mau diantar jemput pacar baru aja. Gak apa-apa kan, Ma?” Tiba-tiba Kika berujar membuat semua keheranan. Terutama Igo yang langsung mendelik.
“Sejak kapan kamu punya pacar baru? Kok Mama baru dengar?”
“Belom sih, Ma. Masih nyari-nyari yang gak gampang nyerah. Tapi secepatnya. Liat aja nanti!” jawab Kika sambil senyum-senyum melirik ke arah Igo yang berubah jutek.
Mendengar ucapan Kika, Igo terpancing emosinya. Tak sadar ia menancapkan garpu dan pisau di daging sop iga dalam piringnya.
Mobil Igo melesat di jalan raya Ibukota. Ketika sudah memasuki kawasan agak macet, mobil berjalan pelan. Kika dan Igo yang dari awal perjalanan terdiam, mulai bicara. Namun ia tanpa memandang Kika sama sekali.
“Lo beneran mau cari cowok lagi?”
“Kenapa? Lo cemburu?” gida Kika.
“Harus, ya? Enggak lah! Inget, kita ini sekarang udah jadi kakak-adik!”
“Terus urusan lo apa? Penting banget ya ditanyain?”
“Gak juga. Cuma pengen kasih tau aja, gue juga sebenarnya sama, lagi nyari juga!”