Malam itu, mereka berempat sedang berkumpul di ruang TV. Namun begitu, mereka tampak asyik dengan dunianya masing-masing. Mama Ocha terlihat baper, hanyut terbawa emosi dalam kisah sinetron yang ia tonton. Papa Jun anteng membaca buku filsafat, dan Kika tenggelam dalam ruang obrolan di layar ponsel bersama teman-temannya. Sedangkan Igo agak terpisah dari mereka, karena sedang memainkan gitar akustiknya. Tiba-tiba Igo menghentikan petikan dawai di jarinya. Ia menghampiri papanya dengan ragu.
“Pa, sorry ganggu. Besok aku perlu uang buat beli alat praktik. Lumayan banyak sih,” ucap Igo dengan wajah tertunduk.
Papa Juno sontak menurunkan buku, kemudian melepas kacamata bacanya. Dahinya mengernyit, menampakkan kerutan yang sudah menandai berapa lama ia menjalani hidup.
“Kamu kan punya uang sendiri. Kenapa harus minta lagi? Tunggu lo gajian, nggak bisa, apa?
“Nggak cukup, Pa. Kemarin kan aku baru aja bayar semesteran. Abislah, Pa! Belum lagi servis mobil, isi bahan bakar, bel....”
“Lo tu ya, boros banget! Belajar atur dong keuangan lo dari sekarang. Cari uang itu nggak segampang membuangnya!” selanya memotong ucapan Igo.
Mama Ocha heran mendengar suaminya bersikap seperti itu kepada Igo di hadapannya.
“Mas, kok gitu sih sama anak? Perhitungan banget. Masa untuk biaya dan urusan kuliahnya mesti ditanggung sendiri? Lalu, tanggung jawabmu apa?”
“Nggak gitu, Sayang. Maksudku cuma ingin memberi pelajaran aja. Biar dia tau dan menghargai gimana susahnya cari uang. Selama ini dia udah dapet gaji dari restoran padahal kerja Cuma paruh waktu. Mobil, fasilitas lain, bukannya udah lebih dari cukup aku kasih buat dia? Dia baru dua tahun ini ikut aku. Kurang apa lagi?” sanggah Papa Jun, tak mau menerima komentar istrinya. Ia ingin selalu benar, tak boleh salah atau disalahkan.
“Mas! Itu baru dua tahun. Terus sebelumnya, delapan belas tahun, Mas sudah kasih apa buat dia? Apa perlu dia kalkulasi apa yang harusnya sudah menjadi haknya?”
“Tapi dia kan ikut mamanya! Ya wajarlah dia dapatkan semua dari mamanya. Sekarang dia tiba-tiba datang, apa iya mau menuntut haknya? Aahh, sudahlah! Aku nggak mau berdebat. Lebih baik aku tidur!” jawabnya seraya beranjak menuju kamar.
Mama Ocha kaget karena baru kali ini Papa Jun marah. Ia geleng-geleng kepala lalu menghampiri Igo. “Sudahlah, jangan diributin. Malu! Berapa yang kamu perlukan? Biar besok Mama transfer ke rekeningmu.”
“Makasih, Ma. Tapi aku nggak mau ngerepotin Mama. Biar aku minta Papa aja besok,” jawab Igo dengan perasaan tak enak hati oleh mama tirinya yang baik.
“Nggak apa-apa, kita kan sudah jadi keluarga. Kalau perlu apa-apa, kita bisa bicarakan!” ujarnya, melegakan perasaan Igo.
“Makasih, Ma! Aku tidur duluan, selamat malam!”
Igo berlalu menaiki tangga menuju kamarnya, diiringi tatapan iba dari Kika.
Mama Ocha menyusul suaminya ke kamar. Terdengar pintu dikunci dari dalam. Kemudian ia duduk di pembaringan di sisi Papa Jun yang pura-pura terpejam.
"Mas, dengar ya. Aku nggak suka kalau Mas terlalu perhitungan sama anak. Bagaimanapun ia anak kandungmu. Darah dagingmu! Seharusnya kamu yang bertanggung jawab dari lahir hingga ia dewasa.”