Di ruang televisi, keluarga baru Kika berkumpul kembali. Kehangatam kembali dirasakan pasangan Rosa dan Jun. Berbeda dengan Kika dan Igo yang masih menyisakan ketegangan di antara mereka. Tiba-tiba ponsel Rosa berdering. Nama Ben muncul di layar.
Rosa melirik Jun dengan gugup. Ia seakan serba salah di depan suaminya. Takut yerkadi salah paam yang kemudian akan memicu lagi pertengkaran, padahal mereka baru saja berdamai.
Namun dengan takit-takut, Rosa menjawab juga panggilan dari mantan suaminya itu.
“Ya, halo! Ada apa?” Tanpa menjawab lagi, Rosa memberikan ponselnya kepada Kika. “Kika, papamu!”
Mendengar kata yang diucapkan istrinya, Papa Jun langsung bereaksi dengan tatapan curiga kepada Rosa dan Kika. Kika menerima ponsel mamanya, lalu melanjutkan percakapan dengan papanya di lantai atas.
“Bener kan, dia masih menghubungimu? Mau apa dia telepon malam-malam gini? Seandainya gak ada aku, kamu pasti tak akan kasihkan teloponmu sama Kika.”
Rosa langsung sewot ketika Juno mengungkapkan kecurigaannya.
“Mas! Jaga ucapanmu! Jangan mengada-ada. Dia ada perlu sama anaknya, bukan sama aku!”
“Kalau bukan ada maksud sama kamu, kenapa gak telepon langsung ke nomor anaknya? Kenapa mesti lewat kamu? Dia kan tahu kamu sudah bersuami lagi?”
“Mas! Kamu liat sendiri kan Kika nggak lagi pegang HP. Papanya bilang teleponnya nggak diangkat, jadi terpaksa lewat aku! Sudahlahlah Mas, aku nggak mau berdebat lagi denganmu!” Rosa merengut kesal. Ia tak habis pikir mengapa sikap suaminya seperti itu.
“Bukan gitu, maksudku... dia harus ngerti bahwa dia nggak bisa seenaknya mengganggu kamu. Kamu sekarang, kan ....”
Tiba-tiba Kika datang berteriak sambil menuruni anak tangga memotong kalimat Papa Juno.
“Sudah, sudah! Hentikan! Kenapa sih kalian berantem terus akhir-akhir ini? Eh denger ya, Om! Dia papaku. Papa kandungku! Dia masih berhak atas aku. Dia masih bebas, nggak ada yang bisa ngelarang kami berhubungan, termasuk mamaku sendiri. Jadi maaf ya, Om. Om jangan ikut campur urusan aku. Urus aja hubungan Om yang nggak beres sama anak Om!”
“Kika!!” bentak Mama Ocha dan Papa Juno bersamaan, seperti dikomando.
Refleks Mama Ocha menampar pipi Kika. Semua kaget, termasuk Igo, bahkan Mama Ocha sendiri. Kika terpekik, lalu menangis menuju kamarnya. Ia tak percaya mamanya melakukan itu kepadanya, karena sebelumnya tak pernah sekalipun bersikap kasar. Sedangkan mamanya terpaku dan terlihat menyesal. Namun tak ada yang bisa mencegah ketika Kika berlari keluar dengan membawa tasnya sambil terisak. Hanya Igo yang berusaha mengejarnya.
“Kika tunggu! Kika!”
Sayang, Kika sudah melarikan motornya dengan kencang menembus gelapnya malam dan tak memedulikan derasnya hujan. Ia menumpahkan tangis di antara curah hujan yang mengiringi laju motornya.
Papa Ben, ayah kandung Kika terkejut ketika membuka pintu rumahnya, setelah beberapa kali bel berbunyi. Di depannya, Kika berdiri dengan muka sedih. Dengan muka heran, Papa Ben meneliti sekujur tubuh putrinya yang basah.
“Ada apa datang malam-malam begini, Kika? Kamu, nangis? Ayo masuk!” tanyanya masih terlihat cemas.
Mereka masuk rumah. Papanya mendudukkan Kika di sofa.
“Ceritakan, ada apa?”
Baru saja Kika hendak bicara, seorang perempuan berusia 35 tahun datang dengan muka bertanya-tanya. Dia adalah Gina, istri papanya yang menjadi penyebab perpisahan orang tua Kika.
“Mas, ada tamu? Siapa? Ooh... kamu. Ada apa datang malam-malam gini? Nggak bisa nunggu sampai besok, apa?” Wajah Gina berubah sinis. Sepertinya ia tak menyukai kedatangan Kika.
Papa Ben mengerti. Ia membawa Kika ke kamar tamu, langsung disuruhnya tidur.
“Sudahlah, sekarang kamu ganti baju, dan istirahat dulu. Besok saja ceritanya, ya. Selamat tidur.”
Papa Ben menutup pintu, sementara Kika mengganti pakaian basah, lalu mematikan lampu kamar. Sambil berbaring, Kika mencoba memejamkan mata, namun tak berhasil.