Sore itu, Kika dan Igo seperti biasa janjian bertemu setelah kuliah selesai. Mereka bertemu di tempat biasa pula. Selain menjadi tempat favorit, kafe itu berada di persimpangan antara jalan menuju ke rumah Kika dan restoran Igo. Sehingga, mereka tak kesulitan jika pulang ke tempat masing-masing.
Mereka tampak duduk di meja sudut ruangan di balkon lantai dua, seperti kunjungan sebelum-sebelumnya. Meja ini memang nyaman, letaknya agak terpisah dengan meja lain dan bisa langsung melihat pemandangan taman di sekitar kafe. Cocok sekali untuk pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta. Tak akan ada yang mengganggu mereka kecuali pelayan yang mengantar hidangan yang dipesan.
“Lo masih keukeuh nggak mau pulang, Ka?” Igo membuka percakapan.
Kika tampak menggelengkan kepala, dan balik bertanya.
“Lo sendiri? Udah berubah pikiran lanjutin niat lo ke Aussie?”
“Kemungkinan jadi. Gue kelarin dulu tugas dan ujian akhir semester ini, abis itu langsung cabut!”
Mendengar ucapan Igo, Kika berubah murung. Kentara sekali gurat kesedihan terlukis di raut wajahnya. Igo memperhatikannya diam-diam dengan mencuri-curi pandang. Sebetulnya, ia tak tega mengutarakan hal itu kepada gadis yang disayanginya itu.
“Lo nggak usah sedih gitu deh. Kita kan masih bisa berhubungan lewat chatting, telepon, atau video call. Nggak susah, kan?” hiburnya.
“Lo memang selalu nggak ngerti perasaan gue!” ucap Kika seraya menyembunyikan kesedihannya.
Kika berusaha menahan perasaan galaunya. Mati-matian ia tahan air mata yang mulai terasa hangat di bawah kelopak matanya. Kika mengalihkannya dengan menambahkan ekspreso ke dalam cangkir kopi, lalu mengaduk-aduknya dengan keras hingga menimbulkan suara sendok dan cangkir beradu.
“Sendainya lo tau, gue juga nggak bisa jauh dari lo. Nggak kebayang gimana beratnya menahan rindu. Tapi ini jalan hidup gue, Ka!” batin Igo saat menatap Kika yang ia tahu tengah galau.
*
Malam hari di rumah Ben. Kika sedang memusatkan pikiran pada tugas kuliahnya. Ia sedang merancang pakaian adibusana yang menjadi tugasnya kali ini. Secangkir kopi hitam terletak di meja menjadi satu-satunya teman akrab.
Tanpa disadarinya, Zia, adik satu ayah, perlahan membuka pintu sedikit, lalu mengintip kakaknya. Kemudian ia masuk dengan mengendap-endap. Tentu saja ia sedang melancarkan aksi, yaitu mengincar ponsel Kika yang tergeletak di meja.
Saat Zia meraih ponsel, Kika kaget dan refleks menepis tangan adiknya hingga tak sengaja menyenggol cangkir kopi. Sayangnya kopi itu tumpah mengenai kertas gambar Kika yang hampir selesai dikerjakan. Bukan itu saja ponsel pun terbanting jatuh hingga layarnya retak. Sontak Kika kalap dengan kelakuan adiknya itu.
“Zia! Apa-apaan sih kamu? Lihat! Semua rusak gara-gara kamu!” teriak Kika tak bisa mengontrol emosi.
Zia yang tak menyangka bakal mendapat perlakuan seperti itu dari kakaknya, langsung menangis.
“Mama! Mama! Kakak jahat, Ma!” serunya sambil menangis kencang.
“Ayo ngadu, ngadu sana! Bisa nggak sih, kamu nggak gangguin gue?” ujar Kika bertambah gemas.
Saat itu muncul Gina mendengar keributan di kamar Kika. Gina langsung memarahi Kika dan membela Zia tanpa peduli penyebabnya.
“Kika! Berani-beraninya kamu berbuat kasar sama adikmu! Gitu ya kebiasaan kamu, diajarin mamamu? Pantas saja, kalian ibu sama anak sama aja. Sama-sama nggak bener!”
Mendengar mamanya disebut-sebut, Kika bertambah sengit. Meskipun hubungan sedang tak baik, tetapi ia tak rela jika mamanya dihina orang lain.
“Eh jangan bawa-bawa mamaku, ya! Asal Tante tau, Tante tuh yang nggak bener! Udah ngerebut suami orang, masih nyalahin juga. Dasar pelakor!”
“Eh, apa kamu bilang?”
Tangan Gina melayang hampir mendarat si pipi Kika, seandainya Papa Ben tak keburu datang untuk melerai. Gina cepat-cepat menurunkan tangannya dengan kesal.
“Kalian ini ada apa ribut-ribut malam-malam begini?” tanya Ben dengan muka tegang. Ia tampak memandangi putri sulung dan istrinya bergantian.
“Lihat tuh kelakuan anak kesayanganmu, Mas! Sama adik sendiri saja masa tega nyakitin dan dibentak-bentak,” adu Gina memberi alasan yang dibuat-buat. Ben tampak tertegun. Ia seolah tak percaya dengan ucapan istrinya.
“Benar, Kika? Jawab! Benar nggak apa kata mamamu?” tanyanya meyakinkan kebenarannya.
“Dia bukan mamaku! Dia perebut suami mamaku!” sanggah Kika sambil menunjuk ke arah Gina.
“Jaga mulutmu, Kika! Kamu sudah lancang!”
Papa Ben hampir saja tak bisa menahan emosi. Ia tampak meremas jemarinya kuat-kuat seraya mengeraskan rahang. Sementara itu, Gina tersenyum sinis dan merasa penuh kemenangan melihat anggota keluarga yang tak diharapkan itu kena amarah suaminya.
Kika tak kuasa menahan air matanya keluar dengan deras. Ia terisak, apalagi ketika papanya menyuruhnya meminta maaf kepada mama dan adik tirinya itu.
“Ayo, sekarang kamu minta maaf sama mama dan adikmu, Kika! Dan jangan ulangi lagi kelakuanmu kalau masih mau tinggal di rumah ini.”
“Aku nggak salah, Pa! Zia yang menumpahkan kopi ke tugasku, juga memecahkan handphone-ku! Harusnya dia yang minta maaf. Bukan aku!” bantah Kika melawan papanya.
Papa Ben terdiam sambil memeriksa tugas yang basah dan kotor oleh noda kopi. Ia pun memungut ponsel dari lantai. Terlihat ada retakan di layarnya.
Setelah memeriksa barang-barang Kika yang rusak oleh ulah Zia, Ben mendekati Kika dan mulai melemah.
“Sudahlah! Zia masih kecil. Ia masih belum tahu apa-apa. Harusnya kamu bisa menjaga barang-barangmu. Kalau ponselnya ada gangguan, biar nanti Papa ganti yang baru!”
“Mas! Bukan begitu caranya mendidik anak, Mas! Kasih dia pelajaran atau hukuman kek, biar nggak seenaknya dia bikin ulah!” Gina meradang mendengar keputusan suaminya terhadap Kika. Ia benar-benar tak menyukainya.
“Sudahlah! Aku pusing! Jangan bikin ribut terus! Aku mau istirahat!”
“Ini kan semenjak dia ada di rumah kita! Sebelum dia ke sini, apa suka ada keributan? Enggak, kan? Kamu nggak adil, Mas!” tukas Gina semakin sewot.
“Sudah! Sudah!”
Papa Ben pun pergi meninggalkan kamar Kika disusul istrinya dan Zia.
“Ya, perempuan itu benar. Papa memang nggak adil! Dan aku nggak mau lagi jadi penyebab keributan di rumah ini. Aku harus pergi!” gumam Kika tanpa bisa terdengar oleh orang lain.
Sementara malam di tempat Rosa, di ruang tengah tampak Juno sedang menghabiskan waktunya dengan membaca. Rosa datang membawa cake pisang kesukaan suaminya. Ia sengaja membuatnya untuk merayu Juno agar mau meminjamkan restorannya, untuk menggelar acara amal juga menjadi salah satu donatur.