Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #9

Menikahi Cinta


Draft kontrak perasaan. Memang ada?. Ada. Dan itu adalah satu-satunya legalitas cinta sepasang adam hawa yang diterbitkan lembaga yang bernama: KUA.

Sayang, manusia modern seperti kita terlampau sering main-main dengan kelamin.


PoV Alina Bintang Maryam.

Tak terasa waktu berlalu dan bulan September telah kami lalui separuhnya, berarti hampir empat bulan aku menjadi lebih dekat dengan Mas Bima. Dalam waktu empat bulan ini aku jadi lebih memahami perilakunya. Dia selalu bersikap ramah dan perhatian pada orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, sikapnya itu sering disalahartikan. Terutama oleh kaum hawa.

Untuk menarik perhatian Mas Bima, para gadis yang tertarik padanya tak jarang mengirimkan barang atau makanan padanya. Tetapi ia malah selalu meminta OB untuk mengirimkan makanan-makanan itu kepadaku di IGD. “Untuk perbaikan gizi bagi anak kos,” ia memberikan alasan. Tentu saja makanan hibah itu selalu disambut dengan suka cita oleh kami di IGD.

Begitupun, setiap aku mendapat jadwal shift pagi, Mas Bima nyaris selalu menjemput di rumah kosku, sehingga kami bisa bersama-sama berangkat ke rumah sakit. Namun jika aku bekerja pada shift siang, kami akan bertemu saat ia menjemputku setelah jam praktek malamnya berakhir. Tetapi jika aku mendapat shift malam, dimana aku harus berangkat sekitar pukul tujuh tiga puluh malam dan pulang setelah pukul tujuh pagi, sehingga berbenturan dengan jadwal prakteknya, ia tidak bisa mengantar atau menjemputku. Sebagai kompensasinya ia akan bolak-balik menelpon atau mengirimi aku SMS. Untuk memastikan aku sudah sampai di rumah sakit dengan selamat. Atau telah pulang ke rumah kosku dengan utuh.

Dengan makin seringnya beberapa rekan sejawatku memergoki aku semobil dengan Mas Bima, serta kiriman-kiriman makanan di jam-jam aku tugas, membuat rumor berkembang di instalasi ini.

“Kedekatan kalian menyebabkan banyak staf perempuan single yang patah hati, loh, Dok. Termasuk saya.“ canda Suster Yani, seorang suster senior yang telah mempunyai anak empat.

Aku hanya menanggapi kalimat itu dengan tertawa. Karena, yah, aku belum bisa memastikan maksud dari perhatian-perhatian Mas Bima, mengingat ia pun belum memberikan pernyataan apa-apa mengenai kedekatan kami.

Hari ini aku mendapat shift dua, sehingga aku berangkat ke rumah sakit dengan bus. Begitu kubuka pintu masuk emergency, Dokter Zilah yang bertugas pagi langsung menyapaku. Wajah lelahnya seolah memintaku segera menggantikan tugasnya.

“Kubersyukur kau datang lebih awal.”

Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati beberapa tempat tidur terisi pasien.

“Saya ke locker dulu, ya, menyimpan tas.” Aku memasukkan tasku ke dalam loker, mencuci tangan di wastafel, dan mengenakan jas putihku. Lalu bergegas menemui Dokter Zilah.

“Jadi, apa yang kita punya siang ini, Dok?” tanyaku.

“Siang ini kau beruntung karena aku hanya menyerahkan 3 pasien yang tersisa ini. Barusan aku sudah mengirim 2 pasien ke OK, dan 8 pasien lain ke ruang perawatan.” Dokter Zilah menggamit lenganku, langsung menuju tempat tidur pasien terdekat.

“Pasien Ibu Zubaedah ini datang dengan keluhan rasa sakit di ulu hati dan kram perut. Suhu tubuh 39.6. Cek darah rutin ditemukan leukositosis.Suspect appendicitis.”

“Apendiktomi?”

“Aku sudah sampaikan kemungkinan itu kepada keluarga pasien. Kita masih menunggu Dokter Internist, tadi yang on duty Dokter Jarot, untuk pemeriksaan lebih lanjut.”

Lalu kami melanjutkan ke pasien berikutnya. Seorang anak usia 9 tahun yang digigit anjing ketika berjalan kaki ke sekolahnya. Sudah dibersihkan lukanya dan diinjeksi serum anti rabies. Pasien berikutnya menderita diare. Aku senang siang ini belum menemui kasus berat. Dan nampaknya tim shift pagi sudah menangani pasien-pasien itu dengan baik.

Setelah para perawat pun selesai melakukan rutinas operan siang itu, Dokter Zilah kembali menggamit tanganku, dan memberi isyarat agar aku mengikutinya ke dalam kamar jaga.

“Aku ingin bergosip sebentar.” bisiknya.

Setelah kami berada di dalam kamar, dia langsung bertanya mengenai hubunganku dengan Mas Bima yang tentu saja kujawab dengan gelengan kepala.

“Kemarin dia ke sini, ngobrol dengan Dokter Attala. Bertanya jadwal dinasmu.” kata Dokter Zilah.

“Dokter Attala memberikannya?”

“Kalaupun dia tak memberikan, Dokter Abimanyu bisa melihat sendiri kan pengumuman jadwal jaga di papan informasi.”

Diam-diam ada perasaan senang karena ia berusaha mencari informasi tentangku. Tetapi aku juga merasa sebal karena merasa privasiku mulai terusik.

“Lalu?”

“Kudengar Dokter Attala mengolok-oloknya, kau telat jatuh cinta, katanya. Dan banyak hal lain yang dibahas mereka.”  

“Dokter Attala bercerita padamu tentang isi obrolan mereka?”

“Tentu saja dia tidak bercerita apa-apa. Kamu tahu kan diantara para lelaki seperti ada semacam kode etik,” Dokter Zilah menggerak-gerakkan ke empat jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda kutip.

“Ngomong-ngomong, apa kau tak pernah tahu, bahwa Dokter Najwa pun menyukai Dokter Abimanyu?” lanjutnya.

Aku menggeleng. “Iya kah? Yang kutahu mereka memang bersahabat sejak dulu.”

“Banyak yang menyangka mereka berpacaran. Kalau kata suster di Cardio mereka saling perhatian satu dengan lainnya.”

Oh!

Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dan suara Suster Yuni terdengar.

“Dokter Alina, Code Blue.”

Kami pun menyudahi pembicaraan tersebut dan aku bergegas ke bagian area resusitasi. Kulihat Perawat Sapto dan Dhika sedang melakukan resusitasi jantung paru pada seorang pasien.

Satu jam kemudian ketika kami sudah mengirim pasien serangan jantung itu ke ICU, dan aku baru duduk menikmati teh hangatku, kulihat Suster Puspa berjalan cepat menuju ke arahku.

“Ada telepon dari operator ambulans, mereka mengirim dua ambulans sedang dalam perjalanan kesini membawa 3 orang korban kecelakaan tunggal mobil menabrak pembatas jalan. Sekitar 5 menit lagi mereka sampai di sini. Kondisi sopir tidak sadarkan diri, terbentur setir di dada. Korban kedua dan ketiga masih sadar.”

Dari informasi verbal seperti itu aku tidak bisa menganggap pasien terluka parah atau hanya cedera ringan.

“Tolong telepon Dokter Teddy, mungkin di ICU atau OK, aku butuh tambahan dokter di sini. Jangan lupa telepon bank darah.”

Suster Puspa segera mengerjakan perintahku. Aku juga meminta Perawat Sapto dan Pak Tito, Petugas Keamanan, membantu mempersiapkan brankar dan menjemput pasien di depan pintu masuk IGD saat ambulans datang. Kemudian aku segera mencuci tangan.

Sekitar lima menit kemudian, brankar dari ambulans pertama masuk. Bertepatan dengan kedatangan Dokter Attala dan Dokter Teddy. Pasien yang datang adalah seorang lelaki separuh baya dengan kesadaran rendah. Tampak wajah dan bibirnya membiru. Sebagian wajahnya tertutup darah.

“Biar kuurus yang ini, Dokter Alina,” kata Dokter Attala, “Langsung ke ruang tindakan, ya Sap.”

Dokter Teddy mengikuti brankar yang di dorong oleh Perawat Sapto.

Dokter Attala melakukan wawancara singkat dengan petugas ambulans, kemudian setengah berlari dia menyusul Dokter Teddy,

Lihat selengkapnya