Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #10

Dokter Juga Manusia

"Aku percaya pada rasa yang meresap dalam hati bukan sekedar kebetulan semata. Tapi adalah Dia yang mengikatnya."


PoV Senandung Najwa Iswandari

Pagi ini, kulihat Bima memasuki koridor bagian Kardiologi dengan wajah berseri-seri. Ia menegur beberapa pasien yang sudah mengantri dengan sangat ramah. Bahkan suster-suster pun ia ajak bercanda.

"Matahari rupanya bersinar cerah sekali hari ini, Dokter Abimanyu." Tegurku padanya saat ia melintas di depanku.

"Benar sekali, Dokter Najwa." Dia menghampiriku dan berbisik, "Aku sedang jatuh cinta. Dan kau akan segera menjadi kakak iparku."

"Lebay." Balasku.

Ia hanya tertawa dan melambai saat memasuki ruang prakteknya.

Aku tertegun. Apa katanya tadi?

Bima dengan terang-terangan menyatakan jatuh cinta pada Alina. Padahal mereka baru bergaul akrab hanya dalam hitungan bulan, lalu kini Bima menyatakan niatnya ingin menikahi Alin?

Bagaimana bisa begitu?

Ah, Bima. Kenapa lelaki itu tidak pernah menganggap aku sebagai perempuan yang juga bisa jatuh hati padanya?

Tujuh belas tahun sudah berlalu semenjak pertama kali aku mengenalnya ketika kami sama-sama menjalani masa orientasi sebagai mahasiswa kedokteran. Entah bagaimana mulanya sehingga aku, Bima, Laksmi, Nurjaman dan Wahyudi menjadi satu kelompok. Kami sering begadang berlima untuk mengerjakan tugas, di rumahku atau di rumah Laksmi. Dan tanpa perlu voting, secara alami Bima menjadi semacam pemimpin kelompok kami.

Dia memang lelaki Alpha

Saat itu sebenarnya aku sudah naksir pada Bima. Karena aku merasa dia selalu menunjukan perhatian lebih besar kepadaku. Dia mau membantuku menyelesaikan tugas kuliah. Mengantar memfotokopi atau menemani keperpustakaan untuk mencari literatur. Dan ia selalu memastikan aku pulang dengan selamat jika kelompok kami bepergian bersama.

Betapa terkejutnya aku ketika suatu hari, saat kami di tingkat dua, Bima menyerahkan tugas mengantar-jemputku pada Nurjaman atau Wahyudi, karena ia disibukkan mengantar jemput Laksmi. Kemudian ketika mereka dengan terus terang mengaku berpacaran, hatiku retak. Berhari-hari aku tidak kuliah karena tidak sanggup melihat kemesraan mereka yang ditunjukkan tanpa malu-malu di hadapan kami.

Sampai kemudian Wahyudi menyatakan cintanya padaku, dan aku tak menolaknya, walau sebenarnya aku tidak mencintainya. Aku dan Wahyudi pun berpacaran. Aku sering secara aktratif bermesraan dengan Wahyudi di hadapan Bima dan Laksmi. Tetapi tindakanku ini malah makin membuat hatiku gundah. Karena tidak ada selarikpun sinar cemburu dari mata Bima.

Rasanya batinku mendidih ketika suatu sore, di kamarku, Laksmi mengajakku berdiskusi bahwa ia ingin meminta Bima melamarnya segera.

"Kemarin, saat kita di Vilamu, kami hampir melakukannya, Najwa." Bisik Laksmi. "Bukan tidak mungkin jika sekali lagi ada kesempatan seperti itu, kami akan melakukannya."

Dan aku jatuh sakit sepulang menyaksikan acara lamaran keluarga Bima kepada keluarga Laksmi. Mereka merencanakan menikah setelah Bima menyelesaikan PTTnya di Jambi tahun depan.

Akupun meminta Wahyudi agar melamarku karena aku merasa Bima tidak mungkin lagi kumiliki. Tetapi saat itu aku dan Wahyudi sama-sama PTT di kota yang berlainan, sehingga ia berpikir untuk menunda menikah.

Lalu tiba-tiba saja, suatu pagi Bima menelponku di Puskesmas dengan suara seorang yang sedang bersedih.

"Laksmi akan menikah dengan Nurjaman pekan depan." Katanya.

Lihat selengkapnya