Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #11

Jaring-Jaring Keresahan

Kesepakatan macam apa yang kita buat?. Melepas kisah dengan ujung simpul yang tidak menentu. Kita terjebak permainan perasaan yang kita buat sendiri. Mestinya kita sadar, hubungan cinta tidak sekedar perihal hitam putih di atas kertas dengan berbatas tanda tangan dan angka tanggal kadaluwarsa tetapi rasa sepanjang masa bagaikan surya menyinari dunia.


PoV Alina Bintang Maryam.

Pagi ini, jam delapan aku mendapat telepon dari Najwa. Seperti biasanya, setelah mengucapkan salam, dia langsung berbicara ke hal yang ingin disampaikan. Tidak pernah merasa perlu menanyakan kabarku, meski hanya untuk sekedar berbasa-basi.

“Kamu pacaran dengan Abimanyu?”

“Kata siapa?” Aku mencoba mengelak, karena kurasakan ada nada marah dalam suara Najwa.

“Kan aku yang bertanya padamu, kok malah berbalik bertanya?” jawabnya ketus. “Dia sudah melamarmu?”

“Kata siapa?”

“Jawab saja kenapa sih, Alina.” Katanya kesal.

Memang seperti itulah sikap dia jika sedang resah. Sejak dulu, sejak kami masih kanak-kanak. Dia selalu ingin mendominasiku. Mungkin karena ia adalah anak tunggal yang selalu mendapat semua perhatian dan keinginannya dari Papa dan Mamanya. Sampai kemudian aku masuk ke dalam kehidupannya.

“Kadangkala dia mengantar atau menjemputku, jika sempat. Rumahnya kan Di Salemba, kami searah kalau dari rumah sakit.”

“Salemba ke Cempaka Putih cukup jauh, Alina.”

“Ngga ah. Satu kotamadya, kok.” Jawabku bersikukuh.

“Jadi kamu ngga mengaku kalau dia sudah melamarmu?” Nada suaranya mulai meninggi.

“Kalaupun aku dilamar oleh siapapun, apa masalahmu, Najwa? Aku sudah 28 tahun. Bukan lagi gadis di bawah umur.”

Najwa terdiam selama beberapa detik.

Lalu terdengar beberapa kali ia menarik napas panjang,

“Ok. Sudahlah. Nanti kutelepon lagi, ya. Aku mau mulai praktek sekarang.” Katanya menutup telepon setelah mengucapkan salam. Tanpa mendengarkan jawaban salam dariku.

Aku jadi termenung, menduga kira-kira apa yang sudah Najwa dengar dari Mas Bima, sehingga ia merasa begitu kesal padaku.

Karena penasaran, aku menelpon Mas Bima. Namun pada dering pertama, panggilanku langsung dijawab oleh suara dari mesin operator. Mas Bima nampaknya sedang mematikan ponselnya.

Jam sebelas Mas Bima menelponku, “Aku cuma mau say hello. Hari ini kamu sehat kan?”

“Alhamdulillah, aku sehat. Mas sudah selesai praktek?”

“Aku masih di klinik. Sebentar lagi pasien berikutnya akan masuk. Oya, kamu hari ini shift dua kalau tidak salah?”

“Iya, setelah menerima teleponmu ini aku akan bersiap-siap berangkat ke rumah sakit.”

“Ok. Sudah dulu ya, pasienku sudah masuk.”

Kudengar ia mempersilahkan seseorang untuk duduk.

“Tunggu, Alina,” ia lalu memelankan volume suaranya, “I love you.”

Kemudian ia menutup pembicaraan tanpa sempat aku bereaksi.

Mendengar tiga kata penutup darinya, membuatku tergugu sekian detik. Tanpa kusadari jantungku berdetak kencang. Senyum pun terkembang di wajahku.

Lalu aku teringat telepon dari Najwa sebelumnya. Dia terdengar marah. Apakah dia tidak senang jika aku dekat dengan Mas Bima?

Lihat selengkapnya