Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #15

Perjalanan Rasa

...semestinya dalam merunut segala permasalahan kehidupan yang ada, setiap orang hendaknya berangakat dari kaidah 5W + 1H, dengan harapan akan bisa mengambil keputusan bijak. Meskipun dalam hal negosiasi, negosiator akan selalu ada kompromi terhadap menyelesaikan masalah.


PoV Alina

Hari Kamis siang seorang kurir dari biro perjalanan datang ke rumah sakit menemuiku untuk mengantarkan sebuah amplop yang berisi selembar tiket pesawat Jakarta-Denpasar pulang pergi dan selembar voucher menginap di sebuah hotel di Denpasar.

Aku sempat merasa bimbang saat menerima amplop tersebut. Aku masih terngiang-ngiang kalimat-kalimat Bude kemarin. Tetapi tawaran berlibur ini sangat menarik bagiku. Aku belum pernah ke Bali. Bahkan sesungguhnya, setelah kematian kedua orangtuaku, aku belum pernah pergi lebih jauh dari Bandung.

Hari Jum’at jam enam pagi Mas Bima menelponku.

“Semalaman aku sulit tidur, Sayang, karena khawatir kau membatalkan untuk datang ke sini.” Katanya.

“Aku memang berpikir begitu, Mas.”

Aku memang sempat mempertimbangkan untuk tidak berangkat, setelah berbicara dengan Bude dua hari lalu.

“Begitukah? Apa yang kau temukan dalam penyelidikanmu tentangku, sehingga kau tidak mau menemuiku?”

“Tidak. Bukan karena itu. Aku merasa tidak perlu menyelidikimu lebih lanjut. Aku akan menerimamu apa adanya.” Kataku.

“Atau karena kau jatuh cinta pada lelaki lain, dalam seminggu lebih ini?”

“Kau posesif!” Aku menjadi kesal dengan pemikirannya itu.

Dia tertawa. “Aku akan meminta sopirku menjemput dan mengantarkanmu ke bandara jam sembilan ya. Tolong, jangan lagi berubah pikiran.”

“Kita ketemu nanti di hotel?” Tanyaku.

“Kita akan bertemu nanti sore.” Jawabnya.

“Oh. Apakah hotel tempatmu kongres jauh lokasinya dari hotel tempatku menginap?”

“Tidak. Masih di hotel yang sama.”

“Tidak bisakah kau keluar ruangan sebentar untuk menemuiku?”

“Kita akan bertemu nanti sore, Sayang.”

“Oke. Terserahmu saja.” Aku menarik napas panjang.

“Begitu lebih baik.” Katanya seolah memenangi perdebatan denganku. “Jadi, supirku akan menjemputmu jam sembilan ya. Jangan ketiduran.”

Dan setelah mengucapkan salam, ia pun mematikan sambungan telepon itu. 

Dengan memasabodokan permintaan Bude untuk menjauhi Mas Bima, aku menyiapkan diriku untuk perjalanan ke Bali ini. Aku membongkar kembali isi koper yang telah kupersiapkan sejak beberapa hari lalu, lalu menimbang-nimbang lagi baju apa yang akan kubawa.

Ke Bali, jadi aku akan membawa beberapa celana pendek dan kaosku. Apakah aku perlu membawa bikini? Hhmm, apakah Mas Bima akan mengajakku makan malam, sehingga aku perlu membawa gaun juga? Berapa sepatu yang akan kubutuhkan? Begitu banyak pertanyaan sehingga tanpa terasa sudah hampir jam delapan. Dengan putus asa kupandangi isi koperku. Ah, sudahlah, jika ada baju yang kubutuhkan nanti, aku bisa membelinya di sana saja.

Jam setengah dua siang, aku telah tiba di hotel berbintang empat di daerah Kuta. Sopir taksi menurunkanku di Lobby hotel yang tampak ramai dengan para tamu yang sedang mengobrol.

Aku menyerahkan voucherku ke recepsionis untuk check in kamar. Kemudian petugas tersebut memeriksa data di komputernya.

“Oh, Ibu, kamarnya sudah dicheck in oleh Pak Abimanyu. Tapi kuncinya dititip di sini. Dan ini ada titipan surat darinya untuk ibu.”

Aku menerima surat dan kunci kamarku dari resepsionis. Dengan diantar seorang porter, aku naik ke kamarku. Ternyata aku mendapatkan sebuah kamar Junior Suite. Fuih.. ini adalah sebuah kemewahan bagiku yang biasanya hanya menyewa kamar standar saja jika bepergian ke luar kota.

Setelah mengucapkan terima kasih pada porter dan menutup pintu kamarku, aku segera membaca surat dari Mas Bima. Surat bertulis tangannya dengan menggunakan kertas berlogo hotel.

Selamat datang di Bali, Sayang.

Kalau kau lapar, pesanlah makanan dari Room Service, aku telah menaruh deposit.

Beristirahatlah dulu. Nanti sore jam empat, akan ada sopir yang akan menjemputmu ke suatu tempat. Kita akan bertemu di sana.

Di lemari ada gaun yang bisa kau kenakan. Aku harap kau menyukainya. Kalau kau tidak suka, boleh kau buang ke tempat sampah. Dan berpakaianlah sesuka hatimu. Asalkan kau mau datang menemuiku.

Sungguh, duduk diam mendengarkan orang lain berbicara di dalam kongres ini, membuat siksaanku dalam menghitung waktu sebelum bertemu denganmu, menjadi kian sempurna.

Aku merindukanmu,

Abimanyu.

Ponselku berbunyi, aku sudah merasa gembira karena kukira Mas Bima yang menelpon. Ternyata Najwa. “Kamu nginap di kamar berapa?”

Aku menyebutkan nomor kamarku. Tidak lama Najwa datang.

Lihat selengkapnya