Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #22

Pondok Indah Mertua

Mencintai itu sederhana. Rumit itu mempupuk perasaan lalu menjaganya. Hati selalu bisa membaca meski bibir dan mata sepakat menutupi kenyataan.


PoV Alina

Jam setengah empat sore aku sudah tiba di tempat kosku. Dengan malas-malasan aku mengemasi barang-barangku. Aku telah tinggal di sini nyaris empat tahun. Sudah seperti rumah bagiku. Walau teman kosku berganti-ganti, tetapi aku sudah merasa nyaman.

Selain itu, ada perasaan enggan untuk tinggal di rumah mertua. Pondok Mertua Indah, istilah teman-temanku. Bukan karena mertuaku tidak baik hati, mengenal mereka kemarin saat di Surabaya, aku jadi bisa menduga, bahwa Mas Bima sebagai anak mewarisi sifat-sifat Papa dan Mamanya. Ya sudah tentu, karena ia di didik oleh mereka. Karena aku menganggap Mas Bima seorang lelaki yang baik, tentu orang tuanya adalah orang-orang yang baik. Tetapi rasa engganku lebih kepada aku harus mengubah kebiasaan-kebiasaanku. Diantaranya, yang biasanya ketika aku baru pulang dari mana saja aku bisa langsung masuk dan berdiam diri di kamar. Aku bisa bebas pergi dan pulang jam berapapun. Atau justru malah hanya berdiam di kamar berhari-hari.

Tentu jika aku tinggal dengan keluarga Mas Bima, aku harus bergaul dengan mereka. Padahal aku tidak begitu suka mengobrol.

Hampir jam sepuluh malam Mas Bima yang baru selesai praktek malam, datang.

“Kalau belum selesai membereskan barang-barangmu, dilanjut saja besok. Besok aku akan membawa mobil yang lebih besar.” Katanya.

“Sudah selesai kok.”

“Hanya ini barang-barangmu?” Katanya heran.

Lalu ia mengangkat koper-koper dan kardus-kardusku ke dalam mobil sedan Hondanya, sehingga hanya tertinggal satu koper dan satu kardus besar tempat sebagian buku-bukuku. “Yang ini kita bawa besok saja.”

Sambil mengendarai mobilnya, Mas Bima bertanya, “Kalau aku boleh tahu, berapa sih gajimu, Alina?”

Karena ia sudah menjadi suamiku, tentu aku tidak keberatan jika ia tahu, maka aku menyebut sebuah angka.

“Uang sebanyak itu kau pakai buat apa saja? Kau tidak membeli mobil, padahal mestinya kau mampu membayar cicilannya. Barang-barangmu pun tidak banyak dan sepertinya bukan bermerek mahal, sehingga kau tidak menghabiskan gajimu untuk membeli segala benda itu.”

“Aku menabung karena ingin kuliah lagi. Walau aku berniat mengejar beasiswa, setidaknya aku menyediakan plan B. Lalu ada beberapa anak yatim-piatu yang kubantu biaya sekolahnya. Nanti kapan-kapan aku ajak kau menemui mereka.”

Mas Bima tersenyum saat mengacak-acak rambutku.

“Entah kebaikan apa yang pernah kulakukan, sehingga aku mendapat istri sebaik ini.” Katanya memuji.

“Tidak, Mas. Aku justru yang bersyukur kau menjadi pengayomku. Bersamamu aku merasa terlindungi.”

“Oh ya?” Ia menatapku sekilas, sebelum kembali memandang lalu lintas. “Jadi sehebat itu ya aku?”

“Ah, aku menyesal mengatakannya. Kau jadi super ge er begitu.”

“Hhmm Mas, soal tempat tinggal, bisakah nanti kita menyewa sebuah paviliun kecil untuk kita tempati?” Tanyaku ketika ingat tentang keengananku tinggal serumah dengan mertua.

“Aku berpikir untuk menyewa apartemen di Cempaka Putih juga. Bagaimana menurutmu?”

“Aku kurang suka tinggal di apartemen.” Jawabku.

“Kita sewa dulu, mungkin satu tahun. Sambil mencari rumah yang pas buat kita. Tetapi asal kau tahu, aku sekarang belum sanggup membeli sebuah rumah di Jakarta, Alina. Maksudku rumah yang memiliki lingkungan baik. Kalau kau mau kita membeli rumah dalam waktu dekat, mau tidak mau kita harus mencari di pinggiran Jakarta.”

Lihat selengkapnya