Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #31

Sengketa Perasaan

Sajian utama belum berakhira ku, kamu dan kenangan bukan pemeran utama dalam setiap kejadianmemang cerita utama tak semudah itu untuk ditebak alurnya.

Epilog adalah kisah - kisah yang penting dan tak penting yang abadi dalam catatan diakhir perjalanan di semesta manusia di bumi cinta ini. 

PoV Alina

Hari ini aku mengurangi jumlah masakan yang kubuat, walau aku sudah dibantu Bi Yuyun dan Bibi Darti, tetap saja aku mulai merasakan kesakitan di punggungku. Usia kehamilanku sudah memasuki tujuh bulan sekarang. 

Selesai memasak, aku menyerahkan kepada para pembantu untuk memasukkan ke dalam kotak, karena aku sudah merasa gerah dan ingin mandi. Selesai mandi, saat aku meminta Pak Tulus mulai memasukkan kotak-kotak nasi tersebut ke mobil, datang seorang kurir dari jasa pengiriman surat. Kiriman dokumen buatku.

Aku yang hampir tidak pernah mendapat surat dari siapapun, sehingga aku menjadi heran. Amplop cokelat berukuran A4 itupun kubuka. Aku mengeluarkan satu demi satu benda dari dalam amplop tersebut. Memandanginya dengan dada berdebar dan tangan gementar. Aku tidak tahu apakah aku ingin menangis atau menjerit. Aku memasukkan semua ke kembali ke dalam amplop.

Aku terpaku. 

Tidak yakin apa yang kulihat tadi. 

Benarkah ia?

Aku mengeluarkan kembali foto-foto itu. Memandangnya satu persatu. Kemudian aku memasukkan semua kembali ke dalam amplop. Aku tidak bisa berpikir. Aku juga tidak bisa menangis. Bahkan aku tidak bisa marah. 

Aku telah dikhianati.

Tiba-tiba kurasakan duniaku menguning. 

Sempat kudengar suara benda jatuh. Aku kah yang terjatuh? Pikirku. Tetapi kemudian aku tidak bisa apa-apa. 

Hanya gelap.

Saat aku terbangun, aku masih terbaring di lantai dengan memakai bantalku. Ketiga pembantu sedang memijiti dan mengipasiku. 

“Bu Alina, mau minum?” tanya Bi Yuyun mengangsurkan sebuah gelas berisi air.

Aku mengangguk. Kuteguk air banyak-banyak. 

“Pak Tulus sudah menelpon Pak Bima, Pak Usman dan Bu Usman. Mereka sedang menuju kemari” Kata Bi Darti.

Usman adalah nama bapak mertuaku.

Aku mengangguk.

“Amplop tadi mana, Bi?”

“Itu, di atas meja.” 

“Singkirkan, Bi. Aku tidak mau melihatnya.”

Dengan tergopoh Bi Darti membawa amplop itu ke dapur.

Aku berusaha bangun, tetapi begitu lemah. Sehingga hanya bisa duduk dengan bersandar pada lemari besar di ruang itu.

Bapak dan ibu mertuaku datang lebih dulu.

“Kenapa Alina?” Tanya Mama 

Aku hanya diam saja. Karena jika bersuara aku yakin, aku akan menangis dan bisa kehilangan kontrol.

“Ibu Alina habis terima surat isinya foto, terus pingsan.” Bi Narti menjelaskan.

“Foto apa?” tanya Mama. Lalu ia menghampiri dan memelukku. 

“Sebentar saya ambil di dapur.” Bi Darti setengah berlari menuju ke dapur dan balik lagi dengan amplop cokelat di tangannya. Ia menyerahkan amplop itu ke mama.

Mama membukanya. 

“Astaghfirullah!” Jeritnya berulang-ulang setiap melihat lembar foto.

Papa merampas foto-foto itu. Terlihat sekali wajahnya menegang.

Aku hanya diam. Masih tak bersuara.

Lalu kudengar suara mobil Mas Bima memasuki garasi. Tergopoh-gopoh ia masuk, sejak di pintu suaranya sudah terdengar cemas,

“Alina kenapa?”

Dengan marah papa menghampirinya dan menamparnya dengan keras.

“Kurang ajar kau, Bima! Istrimu sedang hamil besar begitu, beraninya kau berbuat mesum!”

Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi saat ia menerima kemarahan orangtuanya.. 

Ia bilang ia mencintaiku kan? Ia janji tidak akan mengkhianatiku!

Ibu mertuaku memelukku. Ia menangis. 

“Maafkan Mama, Alina. Maafkan Mama yang tidak cukup baik mendidiknya.” Bisiknya padaku.

“Aku berbuat mesum pada siapa?” Mas Bima tampak bingung menerima kemarahan papanya.

Tanpa menghiraukan pipinya yang merah, Mas Bima mendekatiku dan berusaha memelukku. Tetapi mama malah mendorongnya.

“Sebagai sesama perempuan yang juga pernah hamil, dan sebagai perempuan yang melahirkanmu, Mama ikut sakit hati, Bima.”

“Aku salah apa!” Mas Bima berteriak.

“Ini!” Papa melempar amplop itu ke Mas Bima. Sebagian isinya berhamburan. Mas Bima memungutinya. Melihatnya satu persatu lalu menggeleng-geleng.

Lihat selengkapnya