Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #34

Jantung Hati

Aku ingin menamatkan perasaan demi sebuah rasa lega. Sudahlah, saatnya menapaki masa depan. Kisah kita telah usai. Di ujung cerita ; kita sama - sama mendapat pelajaran dari setiap perjalanan perasaan yakni keajaiban arah. Selain empat arah mata angin yang menyimpan kunci rahasia arah musim. Kamu adalah arah muara cintaku. Semesta tubuhmu adalah rahasia peta perasaanku ; aku memilihmu sebagai jodohku. Aku memang keras kepala untuk keputusan ini.

PoV Najwa

Bima menghukumku bahkan di jam pertama setelah pernikahan kami. Dia memilih ke sudut berpeluk-pelukan dengan Pelacur Kecilnya, dibanding menemaniku menyapa tamu kami. Ibu mertua yang pingsan dan mempelai lelaki yang lebih memilih memeluk istri tuanya yang hamil, ditambah papaku yang berwajah muram adalah kombinasi yang sempurna sebagai bahan untuk menggosipkan perkawinanku ini hingga berbulan-bulan kemudian. 

Lalu sore harinya hingga satu minggu, Bima menghilang. Saat kutelepon dan kukirimi SMS, ia menjawab bahwa ia sedang sakit. Dan ia akan datang jika apartemen sudah siap. Ketika kukatakan bahwa aku tidak mau pindah, SMS ku dijawab, bahwa ia juga tidak mau tinggal di rumah ini. Dia memberi pilihan aku ikut dengan dia atau tinggal terpisah. Ketika aku mendatanginya ke rumah sakit, ia menolak kutemui. 

Seminggu kemudian, dia tidak datang, tetapi hanya mengirim Pak Tulus dan sebuah mobil pick-up untuk menjemput dan membawa barang-barangku. Tentu saja Mama marah dengan caranya seperti ini.

“Kau pikir Najwa itu anak kucing, yang bisa kau pungut semaumu?” Mama berteriak padanya di telepon. Aku ikut mendengarkan.

“Terserah kalau Najwa mau tinggal bersamaku, ya ikutlah dengan Pak Tulus. Jika tidak mau ikut tidak apa-apa. Aku tidak akan tinggal di rumah itu.” Jawabnya.

“Perkawinan macam apa ini?” Mama masih meradang.

“Ini perkawinan yang Najwa inginkan. Yang dia dapatkan dengan cara merampas dan memaksa.”

Hatiku sakit mendengarnya. Akhirnya aku mengalah.

Hari-hari berikutnya, waktu Bima lebih banyak di rumah sakit. Ia praktek dari Senin sampai Sabtu. Pagi dan malam. Hari Minggu ia akan tidur seharian atau pergi memancing. Meski ia menafkahi dengan baik, tidak lagi berkata sinis, menyediakan bahan makanan berlebih, memberiku uang yang cukup, dan selalu mengatakan “boleh” saat aku meminta izinnya. Tetapi rumah tanggaku adalah rumah tangga yang sepi. Kami jarang bertengkar karena kami jarang berbicara satu sama lain. 

Bima membelikan aku sebuah mobil sehingga aku bebas berpergian.

Sedangkan Pak Tulus kini khusus melayani dia. Bima beralasan ia bisa memanfaatkan waktu saat macet selama di perjalanan untuk tidur sejenak. Karena aku memiliki mobil sendiri, setiap Bima berangkat kerja, aku pergi ke rumah orangtuaku, dan baru kembali ke apartemen setelah maghrib.  

Begitulah rumah tanggaku, tenang dan datar.

Lalu suatu hari Minggu sore, Bima mendapat telepon dari rumah sakit. Setelah menjawab telepon tersebut, Bima mengemasi baju dan peralatan mandinya ke dalam sebuah kopor. 

“Najwa, kalau kau mau, menginaplah di rumah orangtuamu beberapa hari. Aku akan menginap di rumah sakit kira-kira 3 atau 4 hari.” Katanya dengan tersenyum. “Alina akan melahirkan.”

“Oh, bekas istrimu itu.” Jujur saja aku merasa cemburu.

“Dia masih istriku. Aku belum pernah menceraikannya.”

Lalu setelah dia menutup kopernya, dia pamit dengan singkat. Seperti biasa, tanpa menyentuhku, apalagi mencium pipi, layaknya suami-istri.

Mmffhh..Pelacur itu datang lagi.

~~**~~


PoV Abimanyu


Aku bersyukur hari Minggu sore ini lalu lintas tidak terlalu padat, sehingga aku bisa sampai di rumah sakit dengan cepat. Tadi yang mengabarkan bahwa Alina ada di rumah sakit adalah dari IGD. Apakah ia masih di IGD atau sudah di ruang perawatan kebidanan, aku belum lagi mendapat berita. Aku memutuskan langsung ke IGD saja. 


Di IGD tampaknya sedang ada beberapa pasien. Begitu melihatku datang, tanpa basa-basi Suster Ayu langsung mengatakan, “Yang ujung kanan, Dok.”

Aku membuka tirai yang menutup ranjang pasien yang terletak di sebelah Ruang Tindakan. Kulihat ia di sana. Sedang berbaring miring ke kiri, mencengkeram besi pengaman tempat tidur. Kaget karena tiba-tiba tirai dibuka, ia menoleh. Ia tidak tersenyum seperti biasanya. 


Aku menghambur ingin memeluk dan menciumnya. Tetapi telapak tangannya menghalangi bibirku.

“Bekas mencium Najwa.” Dia mendorongku. “Tanganmu bekas memeluk Najwa.”

Lihat selengkapnya