Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #35

Miracle of Love

Aku tidak mengharapkan kau akan berkata bahwa aku orang terpenting dalam hidupmu, namun aku hanya berharap, jika suatu saat nanti, saat kau melihat aku, kau akan tersenyum padaku dan berkata kepada semua orang, ’’Dialah orang yang selalu sayang padaku."  

PoV Alina

Di malam hari sebelum pernikahan Mas Bima dengan Najwa, aku menyusun beberapa lembar bajuku ke dalam sebuah koper. Aku tahu dengan perut yang mulai membesar karena kehamilanku, aku tidak akan bisa membawa banyak barang.

Untunglah aku belum membeli apapun untuk perlengkaan bayi, sehingga aku tidak kebingungan saat mengepak barang-barang ketika akan pergi. Ibu mertuaku melarangku berbelanja peralatan bayi sebelum kehamilan usia tujuh bulan. Pamali, katanya. Pantangan yang disebabkan karena pengamatan orangtua-orangtua dulu. Karena saat itu, jika bayi lahir prematur di usia kehamilan sebelum tujuh bulan, biasanya jarang selamat. Sehingga baju-baju bayi yang tak terpakai itu bisa menyebabkan bertambahnya kesedihan calon orangtua sang bayi.

Baru ketika kehamilanku memasuki sembilan bulan, aku membeli perlengkapan bayiku. Sendiri. Ketika aku mulai bisa menata hatiku setelah pernikahan Mas Bima dengan Najwa.

Saat-saat berbelanja, diam-diam aku mengkhayalkan andai saat itu aku berbelanja dengan Mas Bima, tentu aku bisa menanyakan pendapatnya tentang warna atau motif selimut atau pakaian bayi yang akan kupilih, walau kutahu motif dan warna apa saja dia pasti setuju. Belum lagi aku harus berhemat karena saat aku pergi, aku tidak mengambil sepeserpun uang yang pernah Mas Bima berikan padaku. Aku hanya membawa gelang yang diberikannya di Canggu dulu, serta mas kawinku. 

Ketika aku turun dari mobil yang di sopiri Pak Tulus, di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, aku tidak mau menoleh melihat mama dan papa Mas Bima, karena aku pasti tidak akan tahan pada tatapan kasihan dari mereka. Sesungguhnya saat itu aku tidak tahu mau kemana. Aku memilih Malaysia karena itulah tempat terjauh yang paling mungkin kucapai. Selain, karena di sana tinggal salah satu sahabat kuliahku dulu, yang merupakan mahasiswa internasional dari negara itu.

Jika aku egois, aku ingin sekali menghilangkan Mas Bima sama sekali dari hidupku. Aku bisa pergi sejauh mungkin dan bersembunyi darinya. Tetapi kemudian aku ingat kepada calon anakku.

Anakku akan membutuhkan sosok ayah dalam hidupnya. Aku saja yang pernah memiliki ayah secara utuh walaupun hanya sampai hampir usia 11 tahun, tetap merindukan keberadaan ayah sampai sekarang. Maka aku tidak ingin anakku sama sekali tidak mengenal ayahnya nanti.  

Akhirnya aku membatalkan niatku untuk berpindah dan mencari kerja di Malaysia. Tetapi, seperti yang sudah kukira, mencari kerja dalam keadaan hamil besar di Jakarta pun sulit. Beberapa rumah sakit yang kulamar meminta aku melamar kembali setelah aku melahirkan. Untung saja salah seorang kakak temanku membutuhkan tenaga pengganti baginya sebagai trainer manajer di sebuah perusahaan farmasi saat ia menjalani cuti untuk menemani suaminya berobat ke luar negeri. Pekerjaanku adalah mengajar tentang sistem kerja bagian-bagian tubuh manusia pada karyawan-karyawan baru perusahaan tersebut.

Mas Bima juga masih mengirimi uang setiap bulan ke rekeningku, tetapi uang itu langsung kusisihkan untuk kebutuhan anakku saat ia besar nanti.

Jujur saja, aku kadang berprasangka buruk padanya, bahwa suatu saat nanti ia akan melupakan kami. Ditambah jika ia termakan pengaruh Najwa.

Tentang perasaanku pada Mas Bima, aku sering terombang-ambing antara benci dan cinta, antara merindukannya sekaligus ingin menghindarinya. Aku benci keputusannya karena ia memilih patuh, lalu menikah dengan Najwa.

Aku sering berandai-andai ia lari dari orangtuanya saja, entah kemana, bersamaku. Aku benci membayangkannya tidur memeluk Najwa, atau apapun yang akan mereka lakukan sebagai suami istri. 

Lihat selengkapnya