Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #38

Darah Daging

Dan ketika waktu saat ini dalam perjalanan kisah kita serupa menjadi montir sebuah hati, semoga kita menemukan sepakat untuk saling memugar sebidang hati menjadikanya sebagai rumah cinta kita bukan sekedar rumah singgah bagi rasa dan hasrat, bukan sebab saling ingin melainkan saling butuh.

PoV Alina

Ah, ternyata tangisanku tak bisa mengurangi berat di dadaku. Rasa berat karena penyesalan.

Betapa aku menyesali segala ketololan di masa lalu. Aku sungguh tidak menyangka, kebodohankuyang memilih berlari menghindari, menyebabkanku harus menanggung kesedihan hati tak terperi, ketika kini melihat akibat yang harus ditanggung oleh Abi.

Tidak.

Aku tidak akan menyerah.

Aku harus bisa memenuhi janjiku pada Abi.

Kembali kuredial deretan nomor ponsel Mas Bima. Bahkan hingga panggilan kelima ia masih juga tidak mau menjawab.

Oh!

Ingin rasanya aku naik lagi ke lantai sepuluh. Mendobrak pintu kantor dan menyeret sang Direktur yang kini angkuh itu ke sini. Tapi, kegilaan itu tentu tidak bisa kulakukan karena pasti akan menimbulkan kehebohan. Dan aku tidak ingin terusir dari rumah sakit ini.

Baiklah. Mungkin ia sedang dalam perjalanan pulang. Aku akan mencoba lagi usaha ini besok. Bila besok tidak juga berhasil, aku akan mencoba lagi lusa, dan seterusnya.

Aku yakin akan menemui sebuah cara yang bisa memaksanya menemuiku.

Saat sedang termenung, kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku. Kudongakkan kepala, rupanya Dokter Fajar telah berdiri di hadapanku.

"Bu, sejak tadi pagi Abi terus berkata kepada kami, bahwa Ibu sedang menjemput Ayah. Ia minta dibangunkan jika ayahnya datang. Kelihatannya sangat penting bagi Abi ketemu ayahnya," lanjut Dokter Fajar "usahakan ayahnya dihadirkan kesini, Bu, segera"

"Saya sudah berusaha menemuinya, Dokter," Air mataku kembali meleleh mengingat isi surat singkat yang diberikan Bu Siska, "tapi bahkan ia tidak mau menemui saya."

"Kalau diizinkan, biar saya selaku dokter yang merawat Abi, yang berbicara dengannya, Bu. Saya akan jelaskan kondisi Abi. Mungkin ia akan berubah pikiran"

Aku hanya sanggup mengangguk.

"Bolehkah saya minta nomor teleponnya, Bu? Saya akan menghubunginya dari ponsel saya."

"Orang itu Dokter Abimanyu, Dok"

"Dokter Abimanyu di rumah sakit ini?" Dokter Fajar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Aku mengangguk.

"Pantas saja. Saya melihat Abi begitu mirip dengan seseorang, yang sepertinya saya kenal."

Dokter Fajar tampaknya ingin melanjutkan kalimatnya, tetapi ia membatalkannya. Lalu ia kembali mengantongi ponselnya.

Lihat selengkapnya