Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #39

Tuhan Maha Rasa

Ada 2 masalah cinta ;

Pertama, mencintai orang yang tidak tepat

Kedua, mencintai orang yang tepat dengan cara yang salah

Dan, keduanya tidak akan membahagiakan.

Lalu, kamu masih berani jatuh cinta?

PoV Alina

Kami tiba di lantai sepuluh. Disambut petugas keamanan yang berbeda. Nampaknya sudah berganti shift.

"Imam," Kata Dokter Abimanyu pada petugas tersebut. "Bu Siska sudah pulang? Bisa tolong bukakan pintu kantor? Tas saya masih di dalam."

"Siap, Dok." Imam segera mengambil kunci dari lacinya, lalu bergegas membukakan pintu.

"Imam, ini Dokter Alina. Kami akan berdiskusi di dalam "

"Baik, Dok." Petugas keamanan itu menutup kembali pintu di belakang kami.

"Silakan duduk senyamanmu." Ia menunjuk ke seperangkat kursi sofa.

"Mau minum apa?" Dibukanya sebuah lemari kecil dekat dispenser. "Ada teh dan kopi. Tapi kupikir air putih dingin lebih baik."

Diraihnya dua gelas jenjang dan diisi dengan air dingin dari dispenser. Setelah terisi penuh diulurkan salah satu gelas kearahku. Ia meminum habis air digelasnya, lalu mengisi ulang dan membawa ke kursinya.

Ia memilih duduk di sofa tepat di depanku.

"Oke, Alina," Mas Abimanyu menarik napas dalam, "tolong jelaskan semua tentang rentetan dering telepon darimu. Pintu kantorku yang hampir kau dobrak. Ya aku tahu, itu yang ingin kau lakukan, karena menurut laporan Bu Siska tadi pagi, kau tampak mendidih setelah membaca suratku. Beruntung kau masih waras sehingga tidak melakukannya." Kulihat bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum kecil.

"Lalu, panggilan Cito saat aku sudah hampir pulang," ia menarik napas berat,"yang paling mengagetkanku adalah pasien Leukimia yang ternyata anakku" ditatapnya menatap mataku lekat, "sebenarnya bagaimana semua ini bisa terjadi, Alina?"

Diletakkan gelas ramping berisi air putih di meja di hadapannya. Lalu ia memasang wajah seolah siap mendengarkan keluhan pasien.

Aku kebingungan memilih kalimat yang tepat untuk memulai.

Kutatap sepasang mata yang juga menatapku.

Ah, sinar mata itu telah berubah. Dulu mata itu bagai matahari yang selalu hangat dan seolah siap menantang dunia. Kini, aku merasakan keteduhan air danau yang tak beriak di bawah naungan pepohonan hutan. Tampaknya Sang Waktu telah menempanya menjadi lebih bijak.

Atau mungkin, demikian kah tatapan seorang dokter terhadap keluarga pasien yang sedang gulana?

"Aku datang menemui, tapi kau tidak mau menemuiku, Mas. Mestinya kau tahu aku tak akan sedemikian memaksa jika tak mendesak."

"Ketika untuk pertama kalinya selama sekian tahun, kau menelponku. Aku begitu gembira, Alina. Sampai semalaman aku tak bisa tidur. Tahu kah kau aku selalu menanti kau menelponku?"

"Kau hilang, Alina, begitu saja," Mas Bima menggeleng-geleng, "Sampai aku putus asa mencarimu Padahal aku sering merindukanmu. Aku bertanya-tanya bagaimana kabar anak kita. Lalu ketika aku sudah bertahun-tahun putus harapan, tiba-tiba kau menelpon meminta ketemu.

Aku sudah berhasil melewati bertahun-tahun dalam penderitaan hatiku, lalu tiba-tiba kau muncul. Kalau kau nanti menghilang lagi, aku akan hancur lagi. Maka aku memutuskan tidak menemuimu.

Tetapi kalau sejak awal kau memberitahu anakku dalam kondisi seperti itu, tentu aku tidak akan mengabaikannya. Bagaimana dia bisa begitu?"

"Aku tidak tahu." Aku menangis "Selama ini dia baik-baik saja. Tumbuh dengan mengagumkan. Kau akan mencintainya, Mas."

"Kau kira aku tidak mencintainya? Walau terakhir kali aku melihatnya ia masih bayi satu bulan. Aku selalu mencintainya."

Aku menggeleng, "Kau cukup sering melihatnya. Paling tidak, tiga bulan sekali aku mengajaknya mengunjungimu."

Aku mengambil beberapa foto dan menunjukkan kepada Mas Bima saat-saat pertemuan mereka. Ada foto Mas Bima memegang tangan Abi, beberapa foto mereka bergandengan tangan melintasi ruang tunggu Bagian Kardiologi. Juga ada foto saat Abi menyerahkan gambarnya kepada Mas Bima.

"Oh, anak ini! Tetapi aku beberapa kali aku juga bertemu ibunya."

"Yang kau maksud itu Ema, pengasuhnya."

Sejak Abi mulai bisa jalan, aku memang secara rutin membawa Abi ke rumah sakit untuk mempertemukan dengan Mas Bima. Tentu tidak secara terang-terangan. Ketika Mas Bima akan melintas, kusuruh Ema melepaskan gendongan Abi di depan Mas Bima. Karena kelucuan Abi, biasanya Mas Bima akan berhenti sebentar untuk mengajaknya mengobrol atau bercanda. Saat itu diam-diam aku membuat potret mereka berdua dari sebuah sudut.

"4 bulan lalu, ia pulang main dengan hidung mimisan. Belakangan, dia memang beberapa kali demam. Tetapi pagi itu dia nampak sehat dan memaksa menemui temannya. Ia mengaku padaku bahwa ia habis jatuh saat bermain sepak bola, dan hidungnya terkena bola. Aku sudah cek, tulang hidungnya baik-baik saja. Lalu suatu malam, ia nyaris tak bernafas karena tersedak darah. Aku membawanya ke dokter. Dilanjut serangkaian pemeriksaan. Hingga ia diagnosa Leukemia." Aku menangis

"4 bulan lalu! Mengapa tidak langsung menghubungi aku?" Mas Bima tampak geram padaku.

"Aku...tidak ingin mengganggumu."

"Menggangguku! Sebagai dokter, aku akan menyingkirkan hal lain jika ada pasien membutuhkan bantuanku. Apalagi jika itu anakku sendiri." Ia menggeleng-geleng. "Aku juga marah padamu, karena tidak mengizinkan aku untuk tahu kabar anakku. Begitu sakitkah hatimu padaku, Alina?"

"Maafkan aku, Mas."

"Sekarang, apapun mengenai pengobatan Abi, kau harus menanyakan pendapatku. Tak kuizinkan lagi kau memutuskannya sendiri. Saat ini, konsentrasi pengobatan untuknya, bagaimana sel leukimianya jangan sampai relaps dan resisten obat. Kita sama-sama usahakan yang terbaik, ya, buat Abi."

Aku mengangguk.

"Sebelumnya dimana dia berobat?"

"Di Sunway Medical"

"KL?"

Aku mengangguk.

"Yah, kalian pindah ke sana, aku dengar begitu. Padahal Jakarta sendiri begitu luas, kalau kau mau bersembunyi. Lalu mengapa kau memindahkannya ke sini?"

"Nggg...Abi menanyakanmu."

Mas Bima tersenyum.

Lalu ia berdiri, "Maaf Alina, aku mau praktek dulu. Ini aku sudah terlambat setengah jam. Walau sesungguhnya aku ingin berbicara panjang lebar denganmu, meminta penjelasan sejak...kau pergi."

Aku pun ikut berdiri.

"Oya, kau sudah bertemu Najwa?" tanya Mas Bima.

Aku menggeleng.

Lihat selengkapnya