Celengan Rindu

Bisma Lucky Narendra
Chapter #41

Epilog

Melangkahlah, demi semua baik-baik saja.Menetaplah, demi harapan yang tumbuh di hati.Merapalkan niat tidak sama mengucapkan mantra cinta.

Niat adalah energi bagi do'a untuk mewujud.Sementara mantra, entah apa itu?

PoV Alina

Aku seperti mendengar suara berisik berdering berkali-kali. Pelan-pelan suara dering itu terasa mendekat, seiring kesadaranku yang mulai datang.

Suara telepon. Pikirku

Dalam keremangan kamar perawatan, aku melihat lampu dari layar ponselku berkedip-kedip di atas meja di samping sofa panjang yang kutiduri. Aku meraihnya.

Najwa.

"Halo, Najwa, kenapa?" tanyaku. Aku mendengar ia menangis terisak-isak.

"Ssttt...tenang dulu, Najwa. Aku tidak jelas mendengar kalimatmu." Kataku membujuknya dengan suara pelan.

"Aku....Bima...Cerai..." Ia terisak-isak.

"Kalian bertengkar? Sstt,..sabar ya Najwa."

"Aku tidak tahu harus bercerita pada siapa, Alina. Aku tidak punya sahabat. Sahabatku satu-satunya Bima, yang lain sudah pergi. Sekarang ia pergi juga. Aku tidak mungkin bicara pada Mama, ia sudah makin tua." Lalu Najwa kembali menangis tersedak-sedak.

"Kau mau aku datang? Tetapi jangan sekarang ya, ini sudah larut malam. Aku tidak berani ke apartemenmu malam-malam begini. Sabar ya, Najwa..."

Aku terus membujuknya, seperti membujuk anak kecil yang menangis setelah dimarahi.

Akhirnya tangisnya reda.

"Kau janji ya, akan datang." Katanya.

"Iya aku akan datang. Sudah dulu, ya, nanti anakku bangun."

Aku memutus sambungan telepon itu. Meletakkan di atas meja kembali. Dan melanjutkan tidurku.

Dia dan Bima, apa tadi? Cerai?

Aku mencoba mencerna kalimatnya diantara kantukku. Ah, ternyata, tidak ada perasaan senang dalam hatiku saat mendengar kalimatnya itu. Malah ada terselip perasaan prihatin. Walau tidak juga bisa ikut bersedih.

Dalam perasaan yang kompleks itu, aku tertidur.

Keesokan harinya, setelah jam istirahat, Najwa menelpon,

"Ngopi, yuk." Katanya.

Tak kudengar suara bernada sedih. Mengingat janjiku padanya semalam, maka aku mengiyakan.

"Tapi, kita ketemuan jangan jauh-jauh dari kantorku, atau dari rumah sakit ya."

Akhirnya kami janjian ketemu di sebuah coffee shop di Plaza Indonesia, pada pukul 5 sore. Karena dari kantorku ke lokasi hanya perlu naik bus kota selama 5 menit, maka aku sampai di sana 10 menit lebih cepat.

Aku memesan segelas chocolate blended untukku sendiri. Biarlah nanti Najwa memesan sekendaknya. Lalu aku membuka laptop dan mulai mengerjakan pekerjaan yang kurencanakan akan kukerjakan besok. Daripada cuma duduk termangu.

Tiba-tiba kurasakan seseorang duduk di bangku di sampingku. Lalu ia memeluk dan menciumku.

"Aku tidak telat kan, Alina?" Katanya. Najwa.

Aku menatapnya lekat-lekat. Sebagai orang yang semalam menelponku dengan menangis, sore ini tidak kulihat sisa kesedihan di matanya. Malah ia ceria.

"Kenapa?" tanyanya, mungkin karena aku terlihat terang-terangan menelisiknya.

"Kalian tidak jadi bercerai, mestinya, karena melihat kau seceria ini." Kataku.

"Oh. Bima sampai detik ini belum menarik kata-katanya. Tapi aku lega, karena sesungguhnya beginilah yang terbaik buat kami. Kami ternyata lebih cocok bersahabat, bukan sebagai suami-istri" Katanya. "Alina, lagi-lagi, aku harus minta maaf padamu."

"Ya sudahlah. Yang terjadi kemarin-kemarin tidak bisa kita ubah. Hanya bisa kita perbaiki. Aku juga minta maaf padamu, Najwa, aku sempat membencimu."

Lalu kami mengobrol seperti halnya sebelum semua keruwetan ini terjadi. Hingga kami selesai solat maghrib di mushalla mall, Najwa mengajakku makan malam. Aku yang merasa lapar, tidak menolaknya. Kami terus saling bercerita dan tertawa, hingga aku tidak mendengar suara ponselku berbunyi.

"Handphonemu berbunyi dari tadi tuh." Katanya.

Aku segera mengambil ponselku dari dalam tas. Ternyata Mas Bima yang menelpon. Saat kujawab, kudengar suara Abi berbicara dari seberang sana.

"Bunda ada dimana sih? Kok ngga datang-datang juga, sih?" tanyanya kesal.

"Bunda sedang makan. Selesai makan Bunda langsung ke rumah sakit ya."

"Cepetan ya, Bunda."

"Iyaaa. Ditutup dulu ya teleponnya, biar Bunda bisa cepet menghabiskan makanan."

"We love you, Bunda" Kudengar suara Mas Bima sebelum ia memutuskan percakapan melalui telepon itu. Aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas.

"Kau sudah dicariin ya?" tanya Najwa.

"Iya."

"Ayo kita habiskan makanan kita. Setelah itu kau kuantar ke rumah sakit." Kata Najwa.

Sambil mengantarku ke rumah sakit, Najwa bercerita bahwa Mas Bima memberinya mobil yang saat itu sedang dikemudikannya. Juga apartemen yang ditempatinya.

"Aku tidak akan meminta apa-apa lagi darinya, Alina. Karena aku tahu kalian membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan anak kalian."

Aku memeluknya walau ia sedang menyetir. Tak terasa air mataku mengalir.

"Aku bersyukur, kakakku yang baik hati, telah kembali."

"Semua kejadian ini, menjadi pelajaran buatku, Alina. Menyadarkanku betapa egoisnya aku selama ini." Katanya.

"Kau juga manja." tambahku.

Najwa mengantarku hanya sampai pintu pagar rumah sakit, lalu ia melanjutkan perjalanannya.

Saat aku sampai kamar perawatan Abi, kulihat ia sedang duduk bersandar di tempat tidurnya. Mas Bima duduk di situ juga, sedang menyuapi.

Aku menghampiri Abi dan mengecup pipinya. "Abi sedang makan apa?"

"Puding dari Oma. Bunda mau cobain? Enak deh." Mas Bima yang menjawab, sambil mengangsurkan sepotong puding dalam sendok yang dipegangnya. Meski awalnya ragu-ragu, aku menerima suapan potongan puding itu darinya. Abi menatap kami dengan mata bersinar-sinar. Papa dan Mama-nya Mas Bima memang setiap hari bergantian menjaga cucunya ini di siang hari, di saat aku dan Mas Bima sedang bekerja. Mereka akan ditemani Ema, pengasuh Abi. Kedua mertuaku itu minta dipanggil Opa dan Oma oleh cucu-cucunya.

"Mandilah." Kata Mas Bima padaku. Sementara ia menidurkan Abi.

Aku selalu suka saat mandi di bawah pancuran air hangat, karena bisa membuatku rileks dan nyaman. Aku bisa betah berlama-lama menikmati kehangatan air yang mengalir. Terutama saat setelah lelah. Kalau tidak karena pintu kamar mandi digedor orang lain yang ingin bergantian memakai kamar mandi, sampai setengah jam pun, aku belum akan keluar.

Aku berteriak kaget ketika tiba-tiba sepasang lengan melingkari pinggangku.

"Sssttt...Nanti Abi bangun."

Aku menoleh. Ternyata Mas Bima.

"Mas, kita tidak boleh..." Aku mendorong tubuhnya.

"Boleh, Sayang. Aku belum pernah menceraikanmu. Belum pernah sekalipun meniatkan, apalagi mengucapkan kata talak bagimu. Maafkan aku, Alina, untuk tahun-tahun terburuk dalam hidupmu. Aku ingin memperbaikinya."

Aku mengangguk, "Demi Abi."

"Walaupun kita tidak memiliki Abi saat ini, aku akan tetap mengatakan hal yang sama. Apalagi sekarang ada Abi yang membutuhkan kita berdua."

"Tetapi jangan pernah melakukan hal seperti ini lagi, Mas. Kau tiba-tiba berdiri di belakangku. Aku kaget, tahu."

"Maaf."

Mas Bima menggerakkan perlahan ibu jari kirinya dari siku ke sepanjang lengan dalamku lalu berhenti di pergelangan tangan dekat ibu jariku. Memeriksa denyut nadi.

Lalu ia mendekatkan wajahnya ke leherku.

"Apakah kau terbiasa memeriksa arteri karotis pasienmu dengan bibir?" Bulu kudukku meremang, disentuh seperti itu.

"Jantungmu memang berdetak lebih cepat." Katanya.

"Tentu saja. Itu karena kau mengagetkan aku ditambah efek dari kulitmu yang menempel di punggungku."

"Oh, ada pengaruhnya ya buatmu?"

"Menurutmu bagaimana? Kau yang dokter spesialis jantung."

Lihat selengkapnya