Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #3

Bab 2: Pintu Menuju yang Tidak Diketahui

Malam sebelum keberangkatan.


Di apartemen kecilnya di Tokyo, Arya duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Elena yang tertidur. Gadis kecil itu menggenggam boneka beruangnya erat-erat, seolah takut kehilangan sesuatu dalam tidurnya. Napasnya teratur, tenang, tidak menyadari bahwa esok akan menjadi hari di mana dunia mereka berubah selamanya.


Arya menunduk, menyentuh lembut rambut adiknya. Maafkan aku, Lena…


Elena menggerakkan tubuhnya perlahan, lalu matanya terbuka setengah. "Kak?" suaranya pelan, masih dipenuhi kantuk.


Arya tersenyum. "Maaf membangunkanmu."


Elena mengedipkan matanya beberapa kali sebelum duduk, mengucek matanya. "Apa kakak akan pergi sekarang?"


Seketika, tenggorokan Arya terasa kering. Ia ingin berbohong, mengatakan bahwa ia masih punya waktu, tapi Elena selalu bisa membaca kebohongannya. Akhirnya, ia hanya mengangguk.


Elena terdiam beberapa saat sebelum meraih sesuatu dari bawah bantalnya, sebuah foto kecil. Foto dengan ayah dan ibu kami tersenyum dengan latar belakang yang sederhana, keluarga yang harmonis, senyum Elena sangat cerah, tidak ada beban di wajahnya.


"Kakak harus membawa ini," kata Elena, menyodorkan foto itu.


Arya menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. "Lena..."


"Jangan sampai hilang, ya?" senyum Elena menguat, tapi Arya melihat matanya sedikit bergetar.


Dada Arya terasa sesak. Ia menarik adiknya ke dalam pelukan erat, menenggelamkan wajahnya di rambut putih keperakan Elena. "Aku janji akan kembali."


Elena menggenggam lengan kakaknya. "Kakak harus kembali. Kalau tidak… aku akan pergi ke luar angkasa sendiri untuk menjemputmu."


Arya tertawa kecil, meskipun ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa perih. "Baiklah, kalau begitu aku harus kembali sebelum Lena menyusulku."


Saat pagi tiba, Profesor Ryo Sato menjemput Elena di apartemen. "Jangan khawatir," katanya kepada Arya. "Aku akan merawatnya seperti anakku sendiri."


Elena berdiri di belakang Ryo, berusaha terlihat kuat meskipun matanya sedikit memerah. Arya ingin mengatakan sesuatu, tapi saat ia membuka mulutnya, Elena lebih dulu berbicara.


"Kakak pasti akan melihat bintang-bintang dari dekat, kan?"


Arya menatap langit, membayangkan kegelapan tak berujung di luar sana. "Ya."


"Kalau begitu… lihatlah satu bintang yang paling terang dan pikirkan aku," kata Elena dengan senyum penuh harap. "Anggap saja aku ada di sana bersamamu."


Arya tidak bisa berkata-kata. Ia hanya mengangguk, lalu membalikkan badan sebelum perasaannya mengkhianatinya. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah adalah pengingat bahwa ia meninggalkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar petualangan.



---


Terminal D-7, Narita International Airport | Departure to NASA-affiliated Civilian Launch Program - FL, USA

Time: 11:25 JST


Suara pengumuman otomatis menggema di langit-langit bandara, melebur dengan hiruk-pikuk keberangkatan pagi. Akari berdiri di depan check-in counter khusus yang dijaga dua petugas dengan seragam Kementerian Pendidikan Jepang dan badge bertuliskan: International Civilian Specialist Delegation – NASA Collaboration.


Koper metaliknya sudah melewati sistem X-ray level dua. Di tangannya, tiket elektronik dengan cap QR bertuliskan Priority Transit – Odyssey Mission.


Di belakangnya, seorang pria paruh baya berbicara cepat dalam bahasa Jepang ke dalam earpiece, menjelaskan protokol final kepada seseorang yang terdengar seperti staf NASA di sisi lain lautan.


"Miss Hoshino," suara seorang petugas perempuan memanggil. "Paspor dan dokumen diplomatik, tolong."


Akari menyerahkan semuanya, dan saat itu juga, dia sadar. Ini bukan sekadar penerbangan ke Florida. Ini adalah awal dari ketidakpastian.


Tak lama kemudian, seseorang memanggilnya dari sisi ruangan. Arya. Dengan jaket hitam bertuliskan JAXA–ODYSSEY CORPS. Rambutnya sedikit berantakan, mata tajam namun letih.


"Aku kira kamu akan datang dengan pengawalan lebih heboh," ujar Arya, menyilangkan tangan sambil menatap papan keberangkatan.


"Maaf mengecewakan. Aku hanya seorang dosen yang baru pertama kali naik pesawat diplomat," sahut Akari setengah geli.


Arya mengangguk, lalu berjalan ke arah boarding gate. “Kita naik jalur khusus. Transit di Seattle, lalu langsung menuju Cape Canaveral. Jet tempur pengawalan akan menyambut kita begitu kita melewati perairan internasional.”


Akari terdiam sejenak. “Jet tempur? Untuk ahli linguistik?”


“Kamu underestimate keahlianmu sendiri. Atau overestimate keinginan mereka untuk membiarkan kita gagal.”



---


Mid-Air | Stratotanker Transit - JX117 en route to Kennedy Space Center

Time: 02:13 UTC


Langit di luar tampak seperti beludru kelam, hanya diselingi sinar tipis dari panel navigasi. Di dalam kabin jet militer modifikasi, Akari mengenakan sabuk gravitasi semi-otomatis yang menempel di kursi miring 45 derajat.


Di hadapannya, layar holo kecil memutar briefing visual: struktur Odyssey, medan wormhole, risiko temporal displacement. Arya menjelaskan dari kursi seberangnya, matanya tak lepas dari modul diagram.


"Wormhole ini bukan hanya shortcut. Ini persimpangan dimensi. Kita masuk bukan hanya untuk menjelajah, tapi membawa kata pertama dari manusia ke wilayah yang belum pernah tersentuh kosmologi klasik."


Akari mengangkat alis. “Jadi ini bukan hanya ekspedisi. Ini... deklarasi eksistensi?”


Arya menatapnya. "Tepat. Dan kamu, Akari Hoshino, adalah suara pertama yang akan mereka dengar.”



Prelaunch phase - Kennedy Space Center, Florida | 03:42 UTC


Hujan turun tipis di luar hanggar peluncuran. Di balik lapisan kaca tebal yang menghadap landasan vertikal, layar besar menampilkan countdown dalam angka digital merah: T-03:42:17.


Di ruang dekompresi, Akari duduk diam, mengenakan jumpsuit putih keabu-abuan yang pas di tubuhnya, sensor bio-medis masih aktif menyala di pergelangan dan dada. Di seberangnya, Arya tengah memeriksa kembali instruksi teknis dari terminal holo-glass, jemarinya menyentuh antarmuka seolah hafal setiap sekuens sistem.


“Kenapa kamu begitu tenang?” tanya Akari lirih. Rambutnya sedikit basah, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan, hanya keterasingan.


Arya tidak menjawab langsung. Dia menatap tampilan visual Odyssey, pesawat induk yang masih terhubung dengan menara peluncuran. “Karena panik nggak akan mengubah apapun. Kita sudah dilatih untuk kemungkinan terburuk. Tapi kamu, kamu bukan astronot.”


“Ah. Jadi kamu khawatir?” Akari menyeringai, canggung.


Lihat selengkapnya