Aku teringat kembali pada kalimat yang diucapkan kapten Nakamura beberapa waktu lalu. “Waktu di planet itu berjalan berbeda. Kita harus bersiap jika waktu lokal mereka bergerak jauh lebih cepat dibanding kita. Dan lebih cepat dari itu... tidak akan ada yang bisa dipahami.” Sebuah peringatan yang kini terasa semakin nyata saat kami berdiri di hadapan reruntuhan kapal yang tenggelam di lereng bukit.
Jejak kaki kami membekas di lumpur yang aneh cairan kental berwarna kebiruan yang menyerupai air, tapi memiliki viskositas lebih tinggi. Atmosfer planet ini memiliki kadar oksigen 18%, nitrogen 72%, sisanya gas inert yang belum sepenuhnya teridentifikasi. Gravitasi 1,4 kali lipat Bumi membuat setiap langkah terasa seperti berlari sambil membawa beban 20 kilogram.
Aku berdiri terpaku di depan reruntuhan kapal yang menancap di lereng bukit seperti artefak yang lupa dikuburkan waktu. Genesis-Class Explorer, dengan lambang Federasi Internasional masih tercetak jelas di sisinya yang kusam. Tapi desain pesawat ini...
"Aku kenal pesawat ini," gumamku lirih. "Ini prototipe satu-satunya. Masih tersimpan di Hanggar Alpha-1, Pusat Teknologi Orbital, Kyoto..."
Teknisi Sato mendekat, matanya menyipit saat memindai reruntuhan dengan lidar portabel. "Strukturnya identik dengan Genesis-01. Tapi itu mustahil… Genesis tidak pernah diterbangkan. Tidak ada catatan penerbangan resmi sama sekali. Kita bahkan lihat pesawat ini dua minggu lalu sebelum keberangkatan."
"Apa ini semacam replik—" aku berhenti. Tidak mungkin. Tidak ada negara atau perusahaan yang bisa meniru desain sekompleks ini tanpa ketahuan.
"Atau…" gumamku, menoleh ke Akari. "Atau kita sedang melihat sesuatu dari... tempat lain."
Akari yang lebih terbiasa membaca naskah kuno daripada reruntuhan luar angkasa berdiri beberapa meter dariku, matanya terpaku pada seonggok logam berkarat yang setengah tertanam di lumpur. Dia menunduk, lalu perlahan menariknya keluar.
“Sebuah kotak hitam,” katanya dengan napas tercekat.
"Black box?" tanya Sato cepat, langsung mengeluarkan data spike untuk menyambungkannya.
“Biar aku bawa,” kata Akari, memeluknya erat meski jaket antariksa yang ia kenakan tampak terlalu longgar untuk badannya yang mungil. “Entah kenapa... aku merasa ini penting.”
Kru lainnya, termasuk dua astrobio dan seorang geoteknikawan, terus menyisir area dengan prosedur standar menyapu debu, mencatat posisi puing, mencocokkan dengan databank Odyssey. Kami bekerja seperti ilmuwan NASA yang meneliti reruntuhan alien, meski fakta sebenarnya jauh lebih aneh, ini kapal buatan manusia dari... tempat lain.
Tidak ada tanda kehidupan. Tidak ada sisa jasad. Tidak ada luka bakar. Tidak ada bekas tekanan darurat. Kapal ini seolah jatuh... tanpa pernah diisi awak.
Lalu, sesuatu membuat Akari berteriak. “Lihat ke sana!”