Aku berdiri di hadapan Kapten Nakamura dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Baru saja kami kembali dari planet yang berotasi dekat black hole supermasif, dan walau kami hanya merasa tiga jam berlalu di permukaan, delapan tahun telah lewat di orbit atas. Pikiran dan hatiku penuh dengan keraguan, kehilangan, dan tanda tanya yang tak kunjung habis.
"Kau bilang wormhole ini tidak alami?" tanyaku, mencoba menyelami kedalaman ekspresi Nakamura. Sorot matanya mengandung kelelahan dunia, namun ketegasan seorang pemimpin tetap menyala.
"Tepat. Sejak awal, satelit pengintai mendeteksi anomali ini. Kami curiga wormhole itu buatan," jawabnya, nadanya stabil namun nadir keraguan mengendap di ujung kata. "Pola energinya terlalu presisi, terlalu... sempurna. Tak mungkin murni hasil alam.”
Hening. Hanya suara dengungan mesin yang menemani. Aku bertanya dengan nada menusuk, "Tapi mengapa aku satu-satunya yang tidak tahu bahwa wormhole ini sudah ditemukan 80 tahun lalu? Kenapa tak ada briefing yang transparan?"
Kapten menunduk sebentar, menghela napas berat. "Karena ini bukan sekadar eksplorasi. Ini eksperimen yang dipantau ketat oleh elit pemerintahan dan militer. Mereka tak ingin ketakutan massal mengacaukan kestabilan. Bahkan banyak ilmuwan hanya tahu sebagian."
Aku ingin marah, tapi lebih banyak ketakutan yang merayap di dada.
"Kalau begitu, siapa yang membuatnya? Dan untuk apa?" tanyaku lirih, bukan lagi menuntut, tapi memohon pada ketidakpastian agar berbicara.
Dr. Jonathan Carter dokter tim kami berbicara pelan, "Itu yang masih kami cari tahu. Tapi untuk saat ini, ada hal mendesak. Teknologi cryosleep yang kita pakai... belum sempurna. Bisa jadi ada kerusakan jangka panjang. Kita belum tahu dampaknya.”
"Bagaimana dengan mereka yang tak ikut turun?"
"Masih stabil. Tapi perlu observasi lanjutan. Bisa saja ada efek tertunda."