Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #9

Bab 8: Tidur Panjang... dan Logika yang Mengunci Ingatan

Rutinitas adalah satu-satunya jangkar yang bisa kuandalkan di tengah kehampaan ini. Bangun. Makan. Menganalisis data. Tidur... jika bisa. Hari demi hari berlalu tanpa warna. Di ruang angkasa, waktu tak lagi berjalan lurus, ia membeku dan mencair semaunya, seperti bayangan dalam mimpi yang terus mengulang dirinya sendiri.


Kami sedang menuju sumber sinyal misterius. Dulu, itu membuatku gelisah sekaligus bersemangat. Sekarang? Tak ada lagi denyut penasaran dalam dadaku. Hanya kepasrahan mekanis yang menuntunku seperti mesin yang tahu tugasnya, tapi tak lagi peduli pada makna.


Satu hal yang mengusikku adalah... aku tak ingat lagi kenapa aku ada di sini. Apa yang membuatku rela meninggalkan Bumi, meninggalkan segala yang pernah kucinta? Kadang bayangan samar melintas, seorang gadis kecil dengan rambut putih dan mata biru. Wajahnya tak asing, tapi setiap kali aku mencoba mengingat... hatiku seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu dalam. Aku harus menghentikan upaya itu, sebelum jiwaku benar-benar pecah.


Aku... kosong. Seperti ada lubang tak berdasar di dalam diriku, yang terus menganga dan menelan semua yang kusentuh. Aku mencoba menambalnya dengan logika, dengan angka, dengan data. Tapi tak ada satupun yang cukup. Kekosongan itu tetap ada, merayap di sela-sela pikiranku, menghantui langkah-langkah kecilku.


Penelitianku soal cryosleep jadi pelarianku. Bukan karena aku peduli pada keselamatan kru atau masa depan ekspedisi ini. Tapi karena ini satu-satunya hal yang membuatku merasa... ada. Hidup. Waras. Logika dan data adalah pegangan terakhirku di antara kabut ingatan yang mulai rapuh.


Tapi aku tahu ada yang rusak di dalam diriku.


Kepalaku sering sakit. Ingatanku tak utuh. Nama-nama, wajah-wajah, bahkan langkah-langkah sederhana kadang menguap begitu saja. Dr. Carter menyebutnya kelelahan. Tapi aku tahu ini bukan sekadar itu. Ini lebih dari sekadar tubuh yang lelah, ini jiwa yang terfragmentasi.


Secara medis, itu masuk akal. Kelelahan kronis bisa memicu penumpukan beta-amiloid protein yang memperlambat sinapsis di otak. Paparan radiasi kosmik mempercepat kerusakan DNA, menimbulkan peradangan. Kortisol dari stres terus-menerus bisa melubangi hippocampus hingga kemampuan memoriku terkikis sedikit demi sedikit. Dan mungkin... itu sebabnya aku lupa. Bukan karena aku mau, tapi karena otakku memilih untuk melupakan.


Mungkin ini mekanisme bertahan hidup. Untuk mengubur kenangan yang terlalu menyakitkan agar aku bisa tetap berdiri.


Tapi aku tidak bisa terus begini. Jika aku menyerah pada kehampaan, aku akan kehilangan semua, termasuk diriku sendiri.


Hari itu, aku masuk ke kebun hidroponik. Tempat ini satu-satunya titik hijau di tengah dunia logam dan mesin. Di antara daun-daun yang tumbuh dalam keheningan, aku berharap bisa merasakan sesuatu. Apa pun. Bahkan sedikit damai.


Lihat selengkapnya