Setelah kami semakin mendekati bukit itu, aku tidak bisa menahan tawa kecil. Bukit ini benar-benar raksasa... mungkin tinggi dari Everest. Ketinggiannya begitu luar biasa, hampir seperti sebuah dinding alam yang menentang keberadaan kami. Tidak mungkin memanjatnya dengan peralatan yang kami bawa. Bukit ini terbentang begitu luas, membuat kami kesulitan mencari rute yang lebih mudah dilewati.
Daniel melirik ke perangkat pemindaian yang berputar dan mendengung di tangannya. “Sinyal makin lemah,” katanya, mengerutkan kening. “Tapi kita harus terus maju. Atau kita bisa kembali ke shuttle dan coba drone? Saya khawatir kalau sinyalnya tak akan cukup kuat di atas sana, apalagi atmosfernya yang makin tipis. Kita bisa kehilangan kendali dan malah melihat drone itu jatuh ke sisi yang lebih berbahaya.”
Aku merasakan ketegangan yang merayap di sepanjang tulang belakangku. Ada sesuatu yang tidak biasa di sini. "Jadi, apa menurutmu kita harus melewati bukit ini?" tanyaku, menatap Daniel dengan serius.
Dia menatap bukit yang menjulang di depan kami, wajahnya sedikit ragu. "Aku rasa kita tidak punya banyak pilihan selain terus maju. Tapi aku punya firasat buruk tentang tempat ini. Rasanya... kita sedang diawasi."
Akari, yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba menggenggam lenganku dengan sedikit gemetar. “Arya…” suaranya nyaris berbisik, seolah kata-katanya harus dijaga. “Aku... aku mendengar sesuatu. Suara itu... seperti ada yang memanggil kita. Tapi bahasanya... tidak aku mengerti.”