Setelah badai elektromagnetik yang hampir menghancurkan sistem navigasi shuttle kami mereda, kami memutuskan untuk keluar dan memeriksa keadaan sekitar. Sofia dan Raj tetap di dalam untuk memperbaiki subsistem utama reaktor pendingin utama mengalami lonjakan tekanan akibat induksi plasma dari partikel atmosfer planet ini yang tak biasa.
Setelah enam jam stabilisasi internal dan pemeriksaan medis singkat, kami menyusun tim kecil untuk eksplorasi awal…
Sementara itu, kami lainnya mulai mengeksplorasi area sekitar zona pendaratan. Bukit besar yang menjulang tinggi, sejauh 3,8 kilometer dari titik pendaratan, menjadi fokus kami. Topografinya nyaris simetris, elevasinya tetap stabil dengan sudut kemiringan konstan 32 derajat, terlalu presisi untuk disebut hasil proses geologi alami.
Saat kami melangkah, ada momen yang sunyi di antara deru kipas sistem pernapasan dalam helm. Sunyi yang aneh, mengingat planet ini semestinya memiliki hembusan angin setelah badai. Seolah-olah... semuanya menahan napas.
Aku membuka komunikasi internal, mencoba mencairkan ketegangan.
"Oke. Kita baru saja lolos dari fenomena atmosferik berenergi tinggi yang bisa mengiris shuttle kita seperti kertas tipis. Kupikir sekarang saatnya kita berbagi... teori paling absurd tentang planet ini. Ayolah, ini momen damai di antara kekacauan."
Mason menggeser posisi scanner LIDAR di bahunya sambil berdecak kecil.
"Dengar, ini bukan bukit biasa. Formasi batuannya... anomali. Lapisan sedimenternya membentuk pola Fibonacci spiral di titik tertentu. Seperti struktur dengan intensi desain, bukan erosional. Aku menduga struktur ini bisa jadi rekayasa geotektonik yang sangat tua."
Olivia tertawa kecil, suaranya seperti gemuruh lembut dalam kanal audio.
"Kau bicara seolah-olah ada arsitek alien zaman batu dengan penggaris dan kompas di sini."
Daniel menimpali dengan gaya khasnya yang ringan.
"Siapa tahu, kita sebenarnya berjalan di atas reruntuhan superstruktur. Mungkin kota kuno? Atau, bukit ini bukan bukit melainkan semacam struktur penanda atau kubah pelindung bawah tanah?"
Yuki, yang biasanya tak banyak bicara, mengejutkan semua orang.
"Jika ini tempat persembunyian makhluk hidup... semoga mereka sudah mengembangkan etika diplomatik dasar."
Semua tertawa. Kecemasan mereda untuk sesaat. Tapi saat aku melirik Akari, ia tampak tidak ikut larut. Wajahnya di balik visor helm tampak kosong. Matanya menatap lurus, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang tak bisa kami lihat.
Aku menyentuh lengannya. Ia terlonjak pelan.