Perjalanan menuju puncak formasi geologis yang menjulang seperti tulang belakang planet ini tidak mengalami kendala berarti. Shuttle menembus atmosfer dengan stabil berkat keahlian Sofia yang nyaris tak berkedip mengatur vektor dan trim mesin ionik saat turbulensi minor menerpa. Mesin memproyeksikan bunyi dengung halus, menandakan semua sistem berada dalam kondisi optimal.
Ketika kami melaju melewati lapisan mesosfer yang tipis di atas punggungan, tekanan kabin menyesuaikan otomatis, dan suara hiss lembut terdengar dari sistem penyeimbang. Dinding shuttle yang diperkuat karbon-keramik menahan radiasi matahari ganda yang memantul liar dari permukaan berbatu di bawah cahaya ultra-biru dan merah yang terdistorsi oleh atmosfer yang hampir tak bisa bernapas ini.
“Atmosfer terlalu tipis untuk pernapasan,” Olivia Hayes memperingatkan dari kabin utama, jari-jarinya menyapu antarmuka holo dengan gesit. “Nitrogen mendominasi. Oksigen cuma delapan persen. Ada senyawa karbonik asing yang belum kita kategorikan… dan fluktuasi tekanan parsial yang tidak stabil.”
Dr. Carter mengangguk setuju, menyiapkan vial injektor ke sabuk medisnya. “Radiasinya sedikit di atas ambang batas paparan akut. Suit generasi keempat kita dilengkapi lapisan nano-foil reflektif, tapi aku sarankan kita tidak lebih dari dua jam di permukaan.”
Akhirnya, kami sampai di puncak.
Aku berdiri di ambang ramp yang terbuka, tubuhku diselimuti suit lingkungan adaptif berlapis triple-polymer dengan respirator aktif. Di hadapanku, cakrawala melengkung secara dramatis, karena planet ini memiliki jari-jari 1,1 kali Bumi, kurvatur visualnya sangat mencolok. Dua matahari raksasa menggantung rendah di langit ungu keperakan, memancarkan kilau yang menyilaukan. Dan jauh di tengah langit, lubang hitam supermasif menganga, dikelilingi oleh accretion disk yang berputar perlahan, seperti luka terbuka di langit menanti sesuatu, atau mungkin semuanya.
“Hampir mencapai exobatas,” gumamku, menyipitkan mata ke arah langit.
“‘Hampir’?” Sofia menoleh, mengangkat satu alis di balik visor-nya.
“Tekanan atmosfer di titik ini hanya 0,03 atmosfer,” jawabku. “Kita praktis mengambang di ruang dekat.”
Aku bisa merasakan radiasi termal menembus perlindungan suit. Meski dilapisi filter internal, panas dari dua bintang itu terasa menusuk kulit, seperti berdiri di bawah lampu UV yang dibesarkan seratus kali.
“Kalor konvektif rendah, hampir tak ada medium untuk menghantarkan panas. Tapi radiasi elektromagnetiknya... gila,” gumamku, melihat sensor suit yang mulai menunjukkan lonjakan. “Spektrum-nya penuh dengan spike gamma dan X-ray. Suit kita kerja keras menahan ini.”
Di kejauhan, lubang hitam itu tetap tak bergerak. Bukan menghisap melainkan seolah menunggu, diam dalam keheningan kosmik yang mengerikan.
Aku menyipitkan mata, mataku menangkap distorsi visual halus di sekitar horizon peristiwanya. Cahaya dari bintang membelok, melilit, berpendar dalam pola yang tampak… tidak stabil.