Keheningan setelah guncangan itu menyerupai singularitas sunyi, sebuah ketiadaan absolut di mana waktu, suara, dan makna seakan runtuh menjadi nol. Tidak ada gema. Tidak ada getaran udara. Hanya keheningan absolut, seakan seluruh alam semesta menahan napas.
Pendar biru yang semula melingkupi ruangan itu kini telah meredup menjadi denyut samar, menyelinap seperti bioluminesensi di bawah kulit dinding logam. Ia bernafas dalam irama tak manusiawi, ritmis, nyaris biologis, namun tak berasal dari makhluk hidup. Cahaya itu bukan sekadar pantulan foton. Ia seperti... sisa kesadaran. Fragmen dari pikiran asing yang belum sepenuhnya mati.
Aku berdiri terpaku, tubuhku membeku oleh sesuatu yang lebih dari sekadar dingin. Ini bukan ketakutan biasa. Ini adalah reaksi primal dari sistem saraf yang mencoba menolak makna dari sesuatu yang tak seharusnya dimengerti.
Tanganku menggenggam tangan Akari. Kulitnya sedingin logam krionik. Namun bukan hanya dingin secara fisik seolah sebagian dari sistem bio-elektrik tubuhnya telah digantikan oleh sesuatu... lain. Jaringan sinaptik di bawah kulitnya masih ada, namun sinyal yang berjalan di sana... tidak semuanya milik manusia.
“Jangan beri tahu siapa pun tentang ini,” bisikku. Tak lebih dari gangguan frekuensi rendah di antara frekuensi pernapasan kami.
Matanya yang tadi bersinar spektrum biru-gamma kini terpejam rapat. Tapi bukan karena kehilangan kesadaran. Melainkan... penguncian mental. Seolah pikirannya tengah bergulat dengan sesuatu yang mencoba masuk tanpa izin.
Dia mengangguk nyaris tak terlihat. Tapi aku tahu, dalam bentuk tertentu, dia mendengar.
Karena kalau mereka tahu... jika siapa pun tahu apa yang tadi kulihat mengalir di pupilnya struktur geometrik non-euklides, berbentuk hiperbola saling bertaut dalam dimensi tambahan, mereka akan langsung mengkarantina seluruh tim ini. Dan mungkin... meledakkan seluruh sektor.
Napas panjang kutarik perlahan melalui filter helm. Ionisasi udara di sekitarku masih terdeteksi oleh sensor internal suit-ku. Elektromagnetik. Frekuensi anomali. Pola fluktuatif yang tak pernah ada dalam protokol pelatihan.
Lalu perlahan gerakan dimulai.
“Ugh… apa barusan kita kena interferensi gravitasional atau apa?” gumam Daniel, suaranya berat seperti hasil vibrasi dari dua dimensi paralel yang bertabrakan.
Aku mengetuk pelan helmnya sedikit lebih keras dari seharusnya. “Selamat datang kembali, Einstein. Kau mungkin satu-satunya yang bisa menerjemahkan dimensi keempat tanpa kehilangan akal.”
Daniel meringis, menyentuh pelipisnya. “Kalau otakku GPS, kita semua bakal nyasar ke horizon peristiwa lubang hitam dan menyapa Hawking secara personal.”
Di sisi lain ruangan, helm Raj menyala dan ia menggerutu sambil bangkit. “Apa-apaan ini, Arya? Kau nendang aku?”
“Kau terlalu nyenyak tidur. Di lingkungan seperti ini, yang tidur duluan biasanya yang pertama jadi bagian dari sistem.”
Sofia—selalu paling sensitif terhadap suasana—hanya perlu sentuhan ringan. Ia bangkit perlahan, wajahnya seperti layar monokrom. “Jangan bilang kita masih di dalam struktur itu.”