Waktu seolah mengalir lambat, seperti eter kental yang menahan setiap gerak dan napas. Bau ozon sintetis dari sistem filtrasi darurat menggantung di udara, mencampur dengan senyap yang bukan berasal dari keheningan biasa melainkan dari sesuatu yang lebih dalam, lebih purba.
Aku menatap Akari. Ia masih duduk bersandar di dinding struktur, pupil matanya melebar namun tak benar-benar fokus. Tatapannya... bukan milik orang yang sadar sepenuhnya, melainkan milik seseorang yang sedang mendengarkan sesuatu yang datang dari luar jangkauan akal manusia.
Aku berjongkok di depannya, bicara pelan. “Masih bersamaku?”
Butuh beberapa detik sebelum dia berkedip, dan suara kecil keluar dari bibirnya. “Mereka... tidak berbicara dalam suara. Tapi... dalam ingatan. Dalam bentuk.”
Suara itu membuat bulu kudukku berdiri.
“Akari,” kataku lebih serius. “Kau ahli linguistik. Kau pernah menerjemahkan bahasa prasejarah dari reruntuhan di Titan. Tapi ini... kau yakin kau paham ini?”
Dia mengangguk pelan, tapi ada keraguan dalam cara tubuhnya menegang.
“Ini bukan tentang bahasa,” gumamnya. “Ini... struktur berpikir yang berbeda. Seperti... arsitektur emosi. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi mereka mencoba menghubungkan... bukan menyampaikan.”
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke layar taktis di pergelangan tanganku. Pembacaan bio-neuro Akari sedikit di luar batas normal, tapi tidak mengindikasikan kerusakan. Aku berharap itu tetap seperti itu.
Langkah kaki logam menghantam permukaan lantai di belakangku. Daniel.