Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #24

Bab 23: Jejak di Antara Bintang-Bintang

Bagian 1: Masa Lalu Arya dan Adiknya


Langit senja menggantung di atas kota kecil tempat Arya tumbuh, memerah dan jingga seperti lukisan impresionis yang berapi-api. Aroma melati dan tanah basah memenuhi udara, dibawa oleh angin sepoi-sepoi yang berbisik melalui pepohonan. Jangkrik bernyanyi dalam paduan suara yang lembut, menandakan akhir hari yang panjang. Di dalam rumah sederhana mereka, seorang bocah lelaki duduk di meja kayu yang usang, lampu minyak yang berkedip-kedip menerangi wajahnya yang serius. Alis Arya berkerut karena konsentrasi, pensil di tangannya bergerak cepat di atas kertas usang. Arya, dengan rambut hitamnya yang berantakan yang selalu lolos dari sisir dan mata coklatnya yang tajam yang seolah bisa melihat masa depan, sedang mencoret-coret persamaan kompleks yang bahkan sebagian besar orang dewasa takkan mengerti, persamaan yang mengatur perilaku partikel subatomik di dekat lubang hitam, persamaan yang mungkin memegang kunci untuk perjalanan antar bintang.


Sementara itu, seorang gadis kecil berambut putih dengan mata biru cerah yang memantulkan warna langit sore berdiri di belakangnya, memperhatikannya dengan penuh kekaguman. Dia adalah kebalikan dari Arya; terang di mana dia gelap, harapan di mana dia ragu.


"Kakak, kenapa selalu menulis angka-angka aneh itu?" tanya gadis itu polos, suaranya seperti lonceng kecil yang berdering.


Arya berhenti sebentar, meletakkan pensilnya dan memutar kursinya untuk menatap adiknya dengan senyum tipis yang jarang terlihat. "Karena angka-angka ini bisa membawaku ke luar angkasa suatu hari nanti, Elena. Dan jika aku bisa menemukan cara untuk menjelajahi bintang-bintang, aku bisa memberikanmu kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang penuh dengan keajaiban dan kemungkinan."


"Luar angkasa?" Mata gadis itu berbinar, melebar karena kegembiraan seperti bintang-bintang yang baru lahir. Dia meraih tangan Arya dan menggoyangkannya dengan penuh semangat. "Kakak mau jadi astronot?"


Arya tertawa kecil, merasakan hatinya menghangat karena cintanya kepada adiknya. "Lebih dari itu, aku ingin menjadi orang yang menemukan cara agar manusia bisa menjelajah lebih jauh dari yang pernah ada, untuk mencapai bintang-bintang yang paling jauh, untuk membuka misteri alam semesta."


Adiknya, yang kini kita ketahui bernama Elena, tersenyum lebar, memancarkan kebahagiaan yang murni dan tidak tercemar. "Kalau begitu, aku juga mau ke luar angkasa! Aku ingin melihat bintang-bintang denganmu!"


Arya mengacak rambut Elena dengan lembut, merasakan janji tumbuh di dalam hatinya. "Kalau kau mau, aku akan membuat pesawat luar angkasa yang bisa membawamu ke sana suatu hari nanti, sebuah pesawat yang cukup cepat untuk melampaui cahaya, cukup kuat untuk menahan gravitasi lubang hitam."


Mereka tertawa bersama, berbagi momen kebahagiaan yang sederhana dan indah, tanpa menyadari bahwa malam itu adalah salah satu malam terakhir yang mereka habiskan bersama sebagai sebuah keluarga utuh. Bima, ayah mereka, sudah lama berjuang dengan kesedihan dan rasa bersalahnya, dan malam itu, dia menyerah.


Setelah Elena tertidur lelap, Arya menemukan surat di meja ayahnya. Tulisan tangan itu gemetar, dan kata-katanya dipenuhi keputusasaan.


"Arya, Lena. Maafkan aku. Aku tidak bisa terus hidup dengan rasa sakit ini. Aku mencintai kalian berdua, tetapi aku tidak cukup kuat untuk tetap tinggal."


Di bawah surat itu, ada sejumlah kecil uang tunai - sisa terakhir dari kejayaan ayahnya dahulu. Arya tahu bahwa dia dan Elena sendirian sekarang. Dunia kecil mereka telah hancur dalam semalam.



•Bagian 2: Masa muda kecil yang tak mudah


Ayah mereka, Bima Adinata, seorang insinyur jenius yang pernah menjadi andalan proyek antariksa rahasia. Ia merancang mesin roket yang mampu menembus batas kecepatan, membawa harapan untuk menaklukkan angkasa. Namun, takdir berkata lain. Kebahagiaan itu direnggut paksa saat istrinya, Citra, meregang nyawa dalam kecelakaan tragis. Ibunya selalu memastikan Arya pulang dengan selamat dari sekolah, sebuah tugas kecil yang menjadi penyesalan terbesar Bima.


Sore itu, hujan mengguyur kota dengan ganas. Ibunya, dengan payung merahnya yang cerah, menyeberang jalan untuk menjemput Arya. Sebuah mobil melaju kencang, merenggut nyawanya dalam sekejap. Arya menyaksikan semuanya, teriakan ngeri ayahnya abadi dalam ingatannya.


Setelah kepergian istrinya, Bima tenggelam dalam kesedihan. Proyek antariksa ditinggalkan, rumah terasa sunyi, dan harta benda ludes untuk pengobatan yang sia-sia. Arya, yang baru berusia sepuluh tahun, terpaksa mengambil alih peran orang dewasa. Ia merawat ayahnya, memasak, membersihkan, dan mencoba menghibur kesedihan yang tak berujung.


Beberapa tahun kemudian, banjir bandang meluluhlantakkan kota mereka. Rumah mereka telah rata dengan tanah, menyisakan kenangan pahit yang menghantui setiap sudut kota. Kini, mereka terpaksa berbagi ruang di tenda pengungsian yang penuh sesak, berdesakan dengan ratusan pengungsi lain yang kehilangan segalanya.


Di tenda itu, privasi adalah barang mewah yang tak terjangkau. Mereka tidur berhimpitan, berbagi makanan seadanya, dan berjuang untuk menjaga harapan tetap menyala di tengah keputusasaan. Arya melihat bagaimana ayahnya berusaha tegar, namun ia tahu bahwa ayahnya juga terluka dan kelelahan. Kehadiran Anya dan Elena, meski membawa sedikit kehangatan, juga menambah beban di pundak ayahnya.


Anya Volkova... seorang dokter dari Slavonia, negeri yang jauh dan dilanda perang saudara. Ia datang sebagai bagian dari tim bantuan medis, membawa serta Elena, putrinya yang masih bayi. Bima bertemu dengannya di posko bantuan.


Meskipun awalnya Arya sulit menerima kehadiran Anya dan Elena. Luka kehilangan ibunya masih terlalu dalam, dan kehadiran orang asing di hatinya terasa mengganggu. Apalagi, mereka kini hidup di tengah kekacauan akibat banjir bandang.


Suatu hari, Arya melihat Anya merawat seorang anak kecil yang demam tinggi. Anya dengan telaten membersihkan tubuh anak itu, memberikan obat, dan menenangkannya dengan bahasa yang tak Arya mengerti.


Arya melihat kelembutan di mata Anya, keikhlasan di setiap sentuhannya. Ia teringat cerita para relawan tentang Anya, dokter dari negeri jauh bernama Slavonia. Negeri yang diguncang perang, yang membuatnya kehilangan segalanya.


Arya tidak tahu banyak tentang Slavonia, tapi ia tahu apa artinya kehilangan. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai, kehilangan rumah, dan kehilangan harapan. Ia melihat kesedihan yang sama di mata Anya seperti yang ia lihat di cermin setiap hari.


Ia mendengar bahwa Anya adalah seorang dokter yang bekerja tanpa lelah di tengah perang. Ia mendengar bahwa suaminya, seorang jurnalis, tewas dalam serangan musuh. Ia mendengar bahwa Anya melarikan diri dari Slavonia dengan putrinya, Elena, mencari tempat yang aman.


Yang paling membuatnya terkesan adalah bagaimana Anya bisa sampai di sini, di tengah banjir bandang yang melanda kota mereka. Ia mendengar bahwa Anya bergabung dengan sebuah organisasi kemanusiaan internasional yang memberikan bantuan medis di daerah bencana. Ia membayangkan Anya, dengan Elena dalam gendongannya, melakukan perjalanan jauh dari negaranya yang hancur, hanya untuk membantu orang asing yang menderita.


Ia kagum pada keberanian dan ketegaran Anya.


Elena tertawa kecil dalam gendongan Anya. Arya melihat Anya tersenyum. Senyum itu tampak tulus, meskipun ia tahu bahwa Anya pasti menyimpan banyak kesedihan di hatinya.


Ia berpikir tentang ayahnya, yang masih berduka atas kepergian ibunya. Ia berpikir tentang dirinya sendiri, yang berusaha untuk menjadi kuat demi ayahnya. Ia berpikir tentang Anya dan Elena, yang membutuhkan bantuan dan perlindungan.


Mungkin... mungkin mereka bisa saling membantu. Mungkin Anya dan Elena bisa membawa kebahagiaan kembali ke dalam hidupnya dan ayahnya. Ia melihat bagaimana Anya merawat semua orang di posko ini, tanpa memandang usia atau latar belakang. Semua orang merasa terbantu dan terinspirasi olehnya.


Perlahan tapi pasti, Arya mulai menerima kehadiran Anya dan Elena. Ia melihat bahwa mereka bukan ancaman, melainkan bagian dari komunitas yang saling membutuhkan di posko ini. Ia belajar untuk menyayangi Elena, bayi mungil yang selalu tersenyum padanya dengan mata bulatnya yang polos. Senyum Elena, meski sederhana, mampu menghangatkan hatinya yang beku. Ia mulai menghormati Anya sebagai wanita yang kuat dan berani.


Anya membawa kehangatan dan harapan ke dalam hidup Bima dan Arya. Ia menjadi ibu bagi Arya, teman bagi Bima, dan cahaya bagi keluarga mereka.


Bima, yang dulunya tenggelam dalam kesedihan, mulai tersenyum lagi. Ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anya dan Elena, membantu mereka di posko bantuan, bermain dengan Elena, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka. Ia menemukan kembali semangat hidupnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Anya dan Elena. Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin dalam pula perasaan yang tumbuh di antara mereka. Namun, benih-benih cinta mereka tumbuh perlahan, di tengah kesulitan dan trauma masa lalu.


Bima melihat Anya bekerja tanpa lelah di posko bantuan. Ia melihat bagaimana Anya merawat para korban banjir dengan penuh perhatian, seolah mereka adalah keluarganya sendiri. Ia melihat bagaimana Anya bermain dengan Elena, tertawa bersamanya, dan memberinya kasih sayang yang tak terbatas. Ia mengagumi ketulusan, kebaikan, dan pengorbanan Anya.


Anya, di sisi lain, melihat kesedihan yang mendalam di mata Bima. Ia melihat bagaimana Bima berusaha tegar demi Arya, meskipun ia sendiri sedang terluka. Ia melihat bagaimana Bima membantu orang lain dengan tanpa pamrih, meskipun ia sendiri kehilangan segalanya. Ia mengagumi kekuatan, ketabahan, dan kebaikan hati Bima.


Mereka sering berbicara, berbagi cerita tentang masa lalu mereka, impian mereka, dan ketakutan mereka. Anya bercerita tentang perang di Slavonia, tentang suaminya yang meninggal, dan tentang keputusannya untuk meninggalkan negaranya. Bima bercerita tentang istrinya, Citra, tentang kecelakaan tragis itu, dan tentang rasa bersalah yang selalu menghantuinya.


Mereka saling mendengarkan, saling memahami, dan saling mendukung. Mereka menemukan penghiburan dalam kebersamaan, dan mereka mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.


Suatu malam, saat Elena tertidur, Bima berkata pada Anya, "Kamu... ibu yang hebat, Anya. Elena sangat beruntung... punya kamu."


Anya tersenyum, air mata berlinang di pipinya. "Saya... hanya ingin... Elena... hidup lebih baik," jawabnya, dengan aksen Rusia yang kental.


Bima menggenggam tangannya. "Kamu... akan... lakukan itu, Anya. Bersama..."


Sentuhan itu sederhana, namun menghadirkan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh mereka. Di saat itulah, mereka tahu, cinta telah bersemi di hati mereka. Bukan dengan kata-kata mewah, tapi dengan perasaan tulus yang melampaui batasan bahasa.


Waktu berlalu. Bima dan Anya semakin dekat. Arya pun semakin menyayangi Anya dan Elena. Mereka mulai merasa seperti sebuah keluarga.


Suatu hari, Bima mengajak Anya berjalan-jalan di taman kota yang sudah mulai pulih dari banjir. Di bawah pohon rindang, Bima berlutut dan mengeluarkan sebuah cincin sederhana.


"Anya Volkova," kata Bima dengan suara bergetar, "maukah kamu menikah denganku? Maukah kamu menjadi istriku, ibu bagi Arya, dan keluarga bagiku dan Elena?"


Anya terkejut, air mata haru membasahi pipinya. Ia tidak menyangka akan menemukan cinta lagi setelah semua yang telah ia alami.


"Ya, Bima," jawab Anya dengan suara serak, "saya mau."


Bima memasangkan cincin itu di jari Anya. Mereka berpelukan erat, melupakan semua kesulitan dan kesedihan yang pernah mereka alami.


Pernikahan Bima dan Anya diadakan sederhana namun khidmat di posko pengungsian. Semua pengungsi hadir untuk memberikan dukungan dan doa restu. Arya berdiri di samping Bima dan Anya, tersenyum bahagia. Elena, dalam gendongan Arya, tertawa riang seolah mengerti kebahagiaan yang sedang dirasakan semua orang.


Anya membawa kehangatan dan stabilitas yang sangat dibutuhkan ke dalam hidup mereka. Setelah menikah dengan Bima, Anya bekerja sebagai dokter di klinik kecil, membantu orang-orang yang membutuhkan. Bima, masih dihantui oleh masa lalunya, tidak pernah kembali ke proyek antariksa. Sebaliknya, ia bekerja sebagai guru matematika di sekolah lokal, menemukan kepuasan dalam berbagi pengetahuannya dengan generasi muda. Anya mendorongnya untuk menemukan kembali kecintaannya pada matematika, membantunya melihat bahwa ia masih bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi dunia.


Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Anya didiagnosis menderita penyakit genetik langka yang telah diturunkan melalui keluarganya. Gejalanya muncul secara perlahan pada awalnya, tetapi dengan cepat menjadi lebih agresif, merenggut Anya dari mereka hanya dalam beberapa bulan. Kematiannya menghancurkan Arya dan Elena, tetapi dampak terbesarnya dirasakan oleh Bima.


"Kenapa kita sangat berbeda, Kak?" Elena pernah bertanya kepada Arya, suatu malam ketika mereka sedang berbaring di tempat tidur, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. "Ibu selalu bilang aku seperti matahari, dan kamu seperti bulan. Aku ceria dan suka berteman, dan kamu serius dan suka menyendiri."


Arya tersenyum lembut. "Mungkin karena kita memiliki pengalaman yang berbeda, Lena. Kamu tumbuh dalam damai dan cinta, sementara aku harus menghadapi kehilangan dan kesakitan sejak usia muda. Tapi itu tidak berarti kita tidak saling mencintai. Kita adalah keluarga, dan itu yang terpenting."


Mendengar itu, Elena tiba-tiba terisak, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku kangen Ibu, Kak..." bisiknya, suaranya bergetar karena sedih.


Arya menarik Elena lebih dekat ke dalam pelukannya, merasakan hatinya sakit karena melihat adiknya begitu sedih. Dengan lembut, ia menepuk-nepuk rambut Elena, mencoba menenangkannya. "Aku juga kangen Ibu, Lena. Tapi kita harus kuat. Kita harus saling menjaga, seperti yang Ibu inginkan."


Elena terus menangis, tetapi perlahan-lahan ia mulai tenang. Arya terus menepuk-nepuk rambutnya dengan lembut, sampai akhirnya Elena tertidur lelap di pelukannya.


Setelah kematian Anya, Bima benar-benar hancur. Kesedihan dan rasa bersalah yang telah lama ia pendam akhirnya menghancurkannya. Ia tidak bisa lagi menghadapi kenyataan hidup tanpa Citra dan Anya. Ia merasa bahwa ia telah gagal melindungi orang-orang yang paling dicintainya, dan ia tidak bisa lagi menanggung beban rasa sakit itu.


Beberapa minggu setelah pemakaman Anya, Bima menghilang. Ia meninggalkan sebuah surat singkat untuk Arya dan Elena, menjelaskan bahwa ia tidak sanggup lagi untuk hidup dengan rasa sakit itu. Ia tahu bahwa ia telah mengecewakan mereka, tetapi ia berharap bahwa mereka bisa mengerti.


"Kenapa Ayah meninggalkan kita?" Elena menangis, memeluk Arya erat-erat. "Apa kami tidak cukup baik untuknya?"


Arya memeluk Elena erat-erat, mencoba menahan air matanya. "Bukan begitu, Lena. Ayah mencintai kita, tetapi ia terlalu terluka untuk tetap tinggal. Ia merasa bahwa ia akan lebih baik jika pergi, dan kita harus menghormati keputusannya."


Kepergian Bima meninggalkan Arya dan Elena dalam keadaan yang lebih buruk dari sebelumnya. Mereka tidak hanya kehilangan seorang ibu, tetapi mereka juga kehilangan seorang ayah. Mereka benar-benar sendirian di dunia ini, hanya memiliki satu sama lain untuk diandalkan.


Arya berharap, suatu hari nanti, Elena akan memahami betapa besar cinta yang telah diberikan oleh orang-orang yang telah pergi dari hidup mereka. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu menjaga Elena, dan tidak akan pernah membiarkannya merasa sendirian di dunia ini.


Meskipun hidup sulit, Arya tidak pernah menyerah pada mimpinya. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi Elena adalah dengan mendapatkan pendidikan dan menciptakan sesuatu yang luar biasa. Ia tidak hanya ingin memberikan kehidupan yang nyaman bagi adiknya, tetapi juga ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa mengatasi semua kesulitan yang telah menimpanya.


Setelah Elena tertidur setiap malam, Arya menyelinap keluar dari apartemen kecil mereka dan menuju perpustakaan terdekat, yang beruntungnya buka hingga larut malam. Di sana, di tengah rak-rak buku yang menjulang tinggi dan keheningan yang menenangkan, ia menghabiskan berjam-jam untuk belajar, membaca buku-buku sains dan matematika yang dipinjamnya dari perpustakaan. Ia belajar dengan giat, menyerap setiap informasi yang bisa ia dapatkan, bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dan mencapai potensi penuhnya. Ia membayangkan dirinya sebagai perwujudan dari janji yang telah dia buat pada Elena, pelindungnya, dan mercusuar yang menuntun mereka menuju masa depan yang lebih cerah.


Namun, belajar bukanlah satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Arya. Ia juga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ia bekerja sebagai pelayan di restoran cepat saji di siang hari, menghadapi pelanggan yang cerewet dan manajer yang kasar. Ia mencuci mobil di malam hari, menggosok kotoran dan debu dari setiap kendaraan dengan tangannya yang kasar. Dan di akhir pekan, ia bekerja sebagai buruh bangunan, mengangkat batu bata dan membawa semen, merasakan otot-ototnya sakit karena kelelahan. Setiap rupiah yang ia hasilkan, ia simpan dengan hati-hati, memastikan bahwa Elena memiliki semua yang ia butuhkan.


Itu adalah jadwal yang melelahkan, tetapi Arya tidak pernah mengeluh. Ia tahu bahwa Elena bergantung padanya, dan ia akan melakukan apa saja untuk memastikan adiknya memiliki makanan di meja dan atap di atas kepala mereka. Ia melakukannya untuk Elena, untuk memberikan adiknya masa depan yang lebih baik dan untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia mampu mengatasi kesulitan apa pun.


Di tengah semua perjuangan itu, Arya tidak pernah melupakan kecintaannya pada sains. Ia terus melakukan penelitian sendiri, mengembangkan teorinya sendiri tentang gravitasi dan perjalanan luar angkasa. Ia sering kali begadang hingga pagi hari, mengerjakan perhitungannya dan merancang eksperimen di meja dapur kecil mereka. Elena, yang kadang-kadang terbangun karena suara berisik, akan mengintip dari kamarnya dan melihat Arya bekerja dengan tekun di bawah cahaya lampu minyak. Pemandangan itu akan membuat Elena merasa aman dan dicintai, mengetahui bahwa kakaknya selalu bekerja keras untuknya. Dan dengan pemikiran itu, Arya semakin bertekad untuk menunjukkan kepada dunia kejeniusannya.




•Bagian 3: Kejeniusannya Menggemparkan Dunia


Suatu senja, setelah seharian bekerja sebagai buruh bangunan, Arya berjalan pulang dengan langkah lelah. Tangannya menggenggam erat kantung plastik berisi bahan makanan untuk makan malam mereka. Di persimpangan jalan yang sepi, ia melihat seorang pria mendekati Elena yang kecil. Pakaian pria itu biasa saja, tetapi tatapannya—tatapan lapar dan menilai—membuat Arya merasa darahnya mendidih.


Elena, yang baru saja pulang dari kelas tambahan matematika di sekolah, tampak kebingungan. Ia berdiri di pinggir jalan, memegang erat tas sekolahnya yang besar, terlihat kecil dan tidak tahu harus berbuat apa.


"Hai manis, kenapa sendirian di sini?" kata pria itu dengan suara dibuat-buat ramah, berjongkok agar sejajar dengan tinggi Elena. "Menunggu seseorang? Orang tuamu mana?"


Elena mundur selangkah, menggelengkan kepalanya. "Aku sedang menunggu kakakku," jawabnya dengan suara kecil, ketakutan jelas terpancar dari matanya.


"Kakakmu lama. Bagaimana kalau Paman belikan es krim sambil menunggu? Paman janji, kamu pasti suka," kata pria itu, tatapannya semakin membuat Elena mual.


Arya merasa amarahnya memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menghampiri mereka, menjatuhkan kantung belanjaannya ke tanah. Bahan makanannya berhamburan di jalan, tapi keselamatan Elena adalah satu-satunya hal yang penting saat itu.


"JANGAN GANGGU ADIKKU!" teriak Arya dengan suara menggelegar, mendorong pria itu hingga terhuyung mundur. Kali ini, dorongan Arya penuh dengan kemarahan dan keputusasaan.


Pria itu tertawa merendahkan, menatap Arya dari atas ke bawah. "Adikmu? Jangan bercanda. Anak ini tersesat, aku cuma mau menolong." Tatapan matanya yang menjijikkan pada Elena membuktikan kebohongan itu.


Elena memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari dan bersembunyi di belakang Arya, menggenggam erat kemeja lusuh kakaknya.


"PERGI DARI SINI!" bentak Arya, matanya memancarkan kemarahan yang membara. "Atau kau akan berurusan denganku!"


Pria itu menyeringai. "Mau apa kau? Melawanku?"


Tiba-tiba, pria itu mendorong Arya dengan kasar dan mencoba meraih tangan Elena. "Ayo ikut Paman saja, manis. Kakakmu tidak becus menjagamu. Bersama Paman, kau akan mendapatkan segalanya."


Refleks Arya bekerja cepat. Ia menarik Elena ke belakangnya dan membalas mendorong pria itu dengan sekuat tenaga. Pria itu terhuyung mundur, kehilangan keseimbangan.


"LARI, LENA! LARI!" teriak Arya, berusaha melindungi adiknya. "JANGAN BERHENTI SAMPAI RUMAH!"


Elena ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian berlari secepat mungkin, menjauh dari persimpangan yang berbahaya itu.


Pria itu kembali menyerang Arya, melayangkan pukulan bertubi-tubi tanpa ampun. Arya berusaha melindungi dirinya sendiri, tetapi ia kalah dalam hal kekuatan. Ia jatuh ke tanah, merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Pria itu menendanginya, meludahinya sambil tertawa, menikmati penderitaan Arya.


Namun, keberuntungan berpihak pada Arya. Beberapa warga yang melihat kejadian itu mulai berteriak dan berlari ke arah mereka. Pria itu, panik karena takut tertangkap, mencoba melarikan diri.


Warga berhasil menangkapnya dan menyerahkannya kepada polisi yang segera tiba di tempat kejadian.


Arya tergeletak di tanah, terengah-engah dan berlumuran darah. Elena berlari kembali menghampirinya, memeluknya erat-erat.


"Kakak... Kakak..." isak Elena, air matanya membasahi wajah Arya. "Aku takut... Aku takut sekali..."


Arya meringis kesakitan saat Elena memeluknya, tetapi ia berusaha tersenyum. Dengan susah payah, ia mengangkat tangannya dan membelai rambut Elena dengan lembut.


"Tenang, Lena," bisik Arya, suaranya serak dan lemah. "Aku akan melindungimu. Aku janji, tidak akan ada yang menyakitimu lagi."


Kemudian, kesadaran Arya meredup, dan ia pingsan di tempat.


Para warga yang khawatir segera membawa Arya ke rumah sakit terdekat. Elena, yang ketakutan dan bingung, mengikuti mereka dengan berlinang air mata.


Di rumah sakit, para dokter dan perawat segera memberikan pertolongan kepada Arya. Setelah melakukan pemeriksaan, mereka mengatakan bahwa Arya mengalami gegar otak ringan dan beberapa memar di tubuhnya. Ia harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari untuk pemulihan.


Namun, yang membuat Arya dan Elena terkejut dan terharu, pihak rumah sakit memutuskan untuk tidak memungut biaya perawatan sepeser pun. Mereka memahami keadaan ekonomi Arya yang sulit dan pengorbanannya untuk merawat adiknya. Mereka juga terinspirasi oleh keberaniannya dalam melindungi Elena dari pria jahat itu.


Selama Arya dirawat di rumah sakit, Elena selalu menjenguknya setiap hari sepulang sekolah dan kelas tambahan. Ia membawa buku-buku sekolahnya dan belajar di samping tempat tidur Arya, sambil sesekali menggenggam tangannya dan membisikkan kata-kata penyemangat.


Untungnya, Elena tidak sendirian dalam menghadapi masa sulit ini. Teman-teman sekelasnya dan guru-gurunya sangat peduli dan mendukungnya. Mereka membantunya mengerjakan tugas-tugas sekolah, memberikan catatan-catatan pelajaran yang tertinggal, dan bahkan mengumpulkan uang untuk membantu meringankan beban hidup mereka.


Teman-teman sekerja Arya di restoran cepat saji dan proyek bangunan juga menunjukkan perhatian yang besar. Mereka datang menjenguk Arya di rumah sakit, membawakan buah-buahan, minuman isotonik, dan makanan bergizi untuk mempercepat pemulihannya. Bos Arya bahkan mengatakan kepadanya untuk beristirahat selama mungkin dan tidak perlu khawatir tentang pekerjaannya.


"Istirahatlah yang cukup, Arya," kata bosnya dengan nada prihatin. "Kesehatanmu dan adikmu lebih penting daripada pekerjaan apa pun. Kami akan senang menyambutmu kembali ketika kau sudah benar-benar pulih."


Perhatian dan dukungan dari orang-orang di sekitar mereka membuat Arya dan Elena merasa terharu dan bersyukur. Meskipun mereka telah mengalami banyak kesulitan dalam hidup, mereka tidak pernah merasa sendirian. Mereka selalu memiliki orang-orang baik yang peduli dan siap membantu mereka.


Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Arya akhirnya diizinkan pulang. Ia masih merasa lemah dan sakit, tetapi ia sangat senang bisa kembali bersama Elena.


"Selamat datang kembali, Kak," kata Elena dengan mata berbinar, memeluk Arya erat-erat. "Aku sangat merindukanmu."


"Aku juga merindukanmu, Lena," balas Arya, membalas pelukan adiknya. "Aku janji, aku akan selalu menjagamu."


Kejadian itu telah mengubah hidup Arya dan Elena. Mereka telah menyadari betapa berharganya keluarga dan persahabatan, serta betapa pentingnya untuk saling menjaga dan melindungi. Mereka juga semakin bertekad untuk mencapai kesuksesan dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka.


Di sela-sela pekerjaannya sebagai pelayan restoran, pencuci mobil, dan buruh bangunan, Arya terus mempelajari buku-buku sains dan matematika peninggalan ayahnya. Ia juga sering mengunjungi perpustakaan untuk mencari informasi terbaru tentang fisika dan astronomi.


Lihat selengkapnya