Pintu shuttle Aquarius terbuka perlahan, mengeluarkan suara desisan halus saat sistem tekanan menyesuaikan diri dengan atmosfer luar. Tim ekspedisi berdiri dalam diam sejenak, terpesona oleh pemandangan di hadapan mereka. Dua matahari menggantung di langit—satu terang berwarna keemasan, yang lain lebih redup dengan rona kebiruan. Cahaya mereka menembus atmosfer tipis, menciptakan gradasi warna yang tidak pernah terlihat di Bumi.
“Luar biasa…” gumam Olivia Hayes, pakar ekologi ekstraterestrial, sambil menyesuaikan visor helmnya. “Kombinasi spektrum ini bisa menyebabkan fotosintesis yang sangat unik di planet ini.”
Di sekeliling mereka terbentang lanskap yang nyaris seperti Bumi—dataran berbatu dengan vegetasi rendah berwarna biru kehijauan, sungai yang mengalir dengan tenang, dan udara yang, setelah beberapa pengujian awal, ternyata dapat dihirup tanpa bantuan oksigen tambahan.
“Baiklah, kita punya banyak pekerjaan,” kata Arya, mengambil kendali sebagai pemimpin ekspedisi. “Lakukan tugas kalian dengan tetap waspada. Kita belum tahu sepenuhnya apakah planet ini benar-benar aman.”
Masing-masing kru mulai bergerak. Dr. Mason Wright berjongkok di dekat permukaan tanah, mengambil sampel mineral dan menguji komposisinya menggunakan spektrometer genggam. Yuki Tanaka bersama Raj Patel mengevaluasi kemungkinan keberadaan mikroorganisme di air sungai, sementara Hiroshi Saito memeriksa parameter gravitasi lokal yang sedikit berbeda dari Bumi. Daniel Kovacs memantau sinyal yang mereka terima dari planet ini, berharap bisa menemukan pola komunikasi yang bisa dipecahkan.
Di kejauhan, Elijah Strauss berdiri tegap dengan senjata di tangannya, berjaga-jaga untuk memastikan tidak ada ancaman tak terduga.
Sementara yang lain sibuk dengan tugas mereka, Arya berjalan menuju tepian sungai dan duduk di atas batu datar. Ia melepas helmnya, menghirup udara dalam-dalam. Ada kesegaran yang aneh, sedikit berbeda dari Bumi, mungkin karena komposisi atmosfer yang unik.
Tak lama kemudian, Akari menyusul dan duduk di sampingnya. Ia mengamati pantulan dua matahari di permukaan air, seperti dua dunia yang bertaut tetapi berbeda.
“Indah sekali, bukan?” kata Akari, suaranya lembut.
Arya mengangguk, matanya tetap terpaku pada air sungai. “Ya… seperti sesuatu yang familiar, tapi juga asing.”
Hening sesaat. Arya tampak ragu, tetapi kemudian ia menghela napas panjang. “Aku ingin menceritakan sesuatu padamu.”
Akari menoleh, menunggu dengan penuh perhatian.
“Aku hampir mengingat semuanya,” Arya mulai berbicara. “Tentang ayahku… tentang adikku, Elena.”
Akari tetap diam, memberi Arya ruang untuk berbicara.
“Ayahku, Bima Adinata, dulu adalah seorang insinyur di proyek antariksa. Hidupnya berubah ketika ibuku meninggal dalam kecelakaan. Sejak saat itu, dia seperti kehilangan tujuan.” Arya menggenggam tangannya sendiri, seolah menahan sesuatu yang berat di dadanya. “Lalu dia bertemu dengan seorang wanita luar biasa—Anya Volkova. Seorang dokter dari Rusia yang datang ke Indonesia untuk misi kemanusiaan.”
Akari mengangguk pelan. “Bagaimana mereka bertemu?”
“Saat itu Indonesia dilanda banjir besar. Ayahku kehilangan segalanya—rumah kami hancur, pekerjaannya di proyek antariksa terhenti. Di posko pengungsian, dia bertemu Anya yang sedang merawat korban luka. Anya tidak hanya menyembuhkan luka fisik orang-orang, tetapi juga luka hati ayahku. Mereka saling menguatkan.”