Langkah Arya berderap tergesa, menggema di lorong-lorong goa seperti detak jantung yang panik. Lengan-lengannya menopang tubuh Akari yang lemas, seolah membawa harapan yang rapuh di tengah kegelapan yang dingin dan membisu. Akari tampak nyaris tak sadarkan diri, wajahnya pucat seperti bulan yang tertutup kabut, bibirnya bergetar pelan seiring napas yang tidak teratur.
“Aku harus cepat…” bisik Arya, seperti doa yang ditelan batu-batu tua di sekelilingnya.
Tiba-tiba, dari bibir Akari yang nyaris tertutup, terdengar gumaman samar.
"…Arya… tolong… jangan tinggalkan aku…"
Suara itu bukan sekadar bisikan biasa. Ada ketakutan yang mencekam, seolah kata-kata itu berasal dari ruang hampa yang jauh—ruang yang tak bisa disentuh oleh tangan, namun bisa menusuk ke dalam jiwa.
Namun sebelum Arya bisa merespons, suara itu berubah.
Ia membeku.
Suara Akari, kini terdengar ganda suara lemah yang mengenalnya dan… suara lain. Dalam. Bergema. Seperti dua dimensi yang berbicara serentak.
"Oh Arya… kamu selalu… menolongku… tidak peduli seperti apa dirimu… Aku… sangat menyesal… meninggalkanmu… demi kehormatan keluarga… demi takdir…"
Tubuh Akari menegang tiba-tiba di pelukannya, seolah disentuh oleh listrik dari dimensi lain. Matanya terbuka lebar berkaca-kaca, penuh dengan air mata yang belum jatuh, namun siap meledak seperti bendungan yang tak kuat menahan beban waktu.
Arya berhenti. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia berlutut perlahan, menurunkan Akari dengan lembut ke tanah bebatuan. “Akari!” serunya panik, “Apa yang terjadi? Kau dengar aku?!”
Mata Akari menatap ke arahnya, namun tak melihatnya. Ada sesuatu di balik pupil itu sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, lebih… rusak.
"Itu… bukan aku," bisiknya nyaris tak terdengar, namun menusuk hati Arya seperti serpihan es. "Aku… aku tak tahu apa itu… suara itu… ingatan itu..."
Arya menariknya ke dalam pelukan. Akari tidak melawan ia hanya terisak dalam diam, menggenggam jaket Arya erat-erat seperti seorang anak kecil yang tersesat.