Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #39

Bab 38: Awal Takdir yang Terukir

"Dalam putaran takdir yang belum terganggu, sebelum sejarah bercabang menjadi ribuan kemungkinan, ada satu kenyataan yang pertama kali terukir. Inilah awal mula, titik di mana semuanya berjalan sebagaimana mestinya, tanpa intervensi, tanpa perubahan. Dan dilangit berbintang Helio-M31, dua kehidupan dari dunia yang berbeda bersinggungan. Seorang anak lelaki dari rakyat jelata, dan seorang putri yang terbiasa hidup dalam kemewahan. Tanpa mereka sadari, pertemuan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar…"




•Bagian 1: Langit Helio-M31 yang Tak Berujung


Di antara bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, terdapat tata surya yang disebut Helio-M31, sebuah peradaban planet yang telah mencapai puncak kejayaannya. Kota-kota melayang di langit, menara-menara kristal yang menjulang tinggi mengumpulkan energi dari dua matahari kembar, sementara kapal-kapal luar angkasa bergerak tanpa suara di orbit planet ini.


Namun, di balik kemegahan teknologi yang menyaingi impian umat manusia, perbedaan sosial tetap bertahan.


Di pusat tata surya, Aurelion, ibu kota yang megah, dipenuhi oleh mereka yang lahir dari garis keturunan bangsawan. Mereka hidup dalam istana yang menjulang tinggi, berjalan di jalanan yang dipenuhi cahaya neon lembut, dan tidak pernah tahu bagaimana rasanya bertahan hidup tanpa sistem yang mendukung mereka.


Di luar kota, tersebar wilayah rakyat biasa, mereka yang lahir tanpa nama besar, tanpa kemewahan, hanya dengan kerja keras untuk tetap bertahan hidup. Salah satu tempat itu adalah Lembah Bulg, sebuah dataran luas di mana ladang gandum bergoyang diterpa angin, tempat di mana kehidupan berjalan tanpa sorotan kemewahan.


Dan di sana, di rumah batu sederhana yang berdiri di tengah ladang itu, seorang anak laki-laki bernama Arya tinggal bersama ibunya.


Di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari struktur logam tahan radiasi, seorang anak laki-laki terbangun dengan napas memburu. Ia duduk di tepi ranjangnya, keringat dingin membasahi pelipisnya. Kepalanya berdenyut hebat, seakan mimpi buruk yang baru saja dialaminya begitu nyata.


Tak lama, suara langkah mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan rambut kebiruan dan sorot mata lembut memasuki kamar, membawa aroma khas Sorelian Stew yang menguar dari dapur. Wajahnya penuh kasih saat ia duduk di samping anak itu, membelai rambut hitamnya dengan lembut.


"Arya, kau bermimpi buruk lagi?" suara ibunya, Lyra Caellith, terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.


Arya menatap ibunya dengan tatapan kosong sesaat sebelum akhirnya mengangguk. "Aku... merasa seperti mengalami sesuatu yang tidak nyata... tapi begitu jelas."


Lyra tersenyum hangat, menarik anaknya dalam pelukan erat. "Itu hanya mimpi, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekarang, cuci muka dan bersiaplah makan. Ibu sudah memasakkan makanan favoritmu," katanya sambil menepuk punggung putranya dengan lembut.


Begitu mendengar itu, mata Arya berbinar. "Sorelian Stew?"


Lyra terkekeh. "Tentu saja. Ini sebulan sekali, jadi nikmatilah."


Dengan penuh semangat, Arya bergegas mencuci muka dan duduk di meja makan kecil mereka. Di hadapannya, semangkuk besar Sorelian Stew mengepul, aroma rempahnya bercampur dengan daging yang dimasak perlahan dalam saus hitam pekat yang kaya rasa.


"Ibu, aku mencintaimu," kata Arya tiba-tiba, sebelum mulai melahap makanannya.


Lyra tersenyum lembut, mencium kening anaknya. "Ibu juga mencintaimu, Arya. Tapi kau tahu? Kau harus tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan pintar. Ayahmu gugur dalam peperangan, dan aku ingin kau mengikuti jejaknya sebagai seseorang yang hebat."


Arya mengangguk mantap. "Aku pasti akan menjadi kuat."


Setelah menyelesaikan makanannya, Arya meminta izin untuk pergi keluar. Ia mengambil pedang lama milik ayahnya yang tergantung di dinding rumah mereka, lalu berkata, "Aku ingin berburu sedikit, bu."


Lyra menatap anaknya sebentar, lalu mengangguk. "Jangan pulang terlalu larut."


"Aku berjanji!" Arya berseru sambil berlari ke arah hutan.


---


Gadis yang Jatuh dari Langit


Malam itu, langit Aurelion diterangi oleh dua bulan besar yang menggantung tenang di cakrawala.


Arya baru saja kembali dari hutan setelah memeriksa jebakan buruannya ketika ia melihat sesuatu yang tidak biasa di dekat rumahnya.


Sebuah kendaraan udara kecil jatuh di antara ladang gandum, tergelincir dengan bunyi logam yang berderit sebelum akhirnya berhenti, meninggalkan bekas jalur terbakar di tanah.


Arya berlari mendekat. Napasnya memburu saat ia melihat kaca kokpit kendaraan itu pecah.


Di dalamnya, seorang gadis kecil terbaring diam. Rambut emasnya yang panjang berantakan, wajahnya penuh debu, tetapi bahkan dalam keadaan seperti ini, ia memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan, sebuah keanggunan yang tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang di tempat seperti ini.


Dan saat mata gadis itu perlahan terbuka, Arya melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.


Sepasang mata merah menyala.


"Kau siapa…?" bisik Arya, setengah takut, setengah terpukau.


Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya lemah.


Sebelum Arya bisa bertanya lagi, suara lain terdengar dari dalam kendaraan.


"Jangan sentuh dia."


Arya menoleh, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan rambut perak panjang, matanya tajam seperti seseorang yang telah melihat terlalu banyak hal dalam hidupnya.


Fidelis Caelora.


Dari caranya berdiri, caranya berbicara, Arya langsung tahu. Mereka bukan orang biasa.



---


Malam yang Mengubah Segalanya


Rumah kecil keluarga Caellith tidak pernah menerima tamu, apalagi tamu seperti mereka.


Seraphina Solis, putri mahkota Kerajaan Aurelion.


Fidelis Caelora, ilmuwan jenius yang tidak diakui oleh keluarganya.


Mereka seharusnya tidak ada di tempat ini.


Namun malam itu, di bawah atap rumah batu yang sederhana, mereka duduk di depan perapian, ditemani oleh suara kayu yang berderak pelan.


Lyra Caellith, ibu Arya, menyiapkan teh hangat untuk mereka, ekspresinya tenang tetapi penuh perhitungan.


Seraphina masih terlihat lemah, tetapi matanya memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan.


Arya duduk di lantai, masih bingung dengan apa yang terjadi.


"Kalian bukan orang biasa, kan?" tanyanya akhirnya.


Fidelis menatapnya sekilas, tetapi tidak langsung menjawab. Seraphina-lah yang akhirnya berbicara.


"Aku… hanya ingin pergi dari istana untuk sementara waktu."


Arya menatapnya curiga. "Lalu kenapa kau bisa terdampar di sini?"


Seraphina terdiam sesaat sebelum menjawab, suaranya lebih pelan. "Ada yang mencoba membunuhku."


Ruangan menjadi sunyi.


Lyra menatap Fidelis dengan tajam, tetapi Fidelis tetap tenang.


Arya merasa tenggorokannya mengering. Ia tidak mengerti dunia politik kerajaan, tetapi jika seseorang mencoba membunuh seorang putri mahkota, itu berarti dunia di luar sana sedang berada dalam kekacauan yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.


Seraphina menundukkan kepalanya sedikit, rambut emasnya jatuh menutupi wajahnya. "Aku tidak ingin merepotkan siapa pun. Jika ini terlalu berbahaya bagi kalian, aku dan Fidelis bisa pergi—"


"Tidak."


Semua orang menoleh ke arah Lyra.


Wanita itu menatap Seraphina dalam-dalam, lalu mendesah pelan. "Aku tidak akan mengusir seorang anak yang terluka."


Seraphina mengangkat kepalanya, sedikit terkejut.


Lyra menghela napas. "Kau bisa tinggal di sini. Tapi hanya untuk sementara."


Fidelis menyipitkan mata. "Kau tahu apa yang kau lakukan?"


"Aku tahu," jawab Lyra tanpa ragu.


Fidelis menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk.


Seraphina akhirnya mengendurkan bahunya, terlihat sedikit lebih rileks.


Arya menghela napas panjang. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Tetapi satu hal yang pasti kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.


Dan di luar, di atas langit berbintang, sesuatu yang tak terlihat mengawasi.


•Bagian 2: Langkah Pertama di Dunia yang Asing


Seraphina dan Dunia yang Tak Pernah Ia Kenal


Pagi pertama Seraphina di rumah keluarga Caellith terasa lebih asing dari apa pun yang pernah ia alami.


Udara terasa lebih dingin dari istana, meski bukan karena suhu, melainkan karena tidak ada dinding kaca raksasa yang melindunginya dari angin. Aroma ladang gandum bercampur dengan tanah basah, dan suara burung liar menggantikan melodi mekanik dari kota terapung Aurelion.


Ia duduk di meja kayu sederhana, memperhatikan Lyra menyiapkan sarapan. Tidak ada pelayan yang berdiri di sudut ruangan, tidak ada meja panjang dengan hidangan dalam piring kristal. Yang ada hanyalah sepiring roti kasar, semangkuk sup panas, dan teh herbal yang harum tetapi tampak sederhana.


Seraphina mencoba menggenggam sendok kayu di tangannya. Rasanya aneh. Beratnya berbeda dari peralatan makan di istana.


Arya, yang duduk di seberangnya, mengamati gadis itu dengan tatapan heran. "Kau belum pernah makan sendiri, ya?"


Seraphina mengangkat wajahnya. "Tentu saja aku bisa makan sendiri!"


Tetapi ketika ia mencoba menyendok supnya, tangannya sedikit gemetar, dan setetes sup jatuh ke atas meja.


Arya terkekeh. "Kau tidak perlu berpura-pura di sini, Putri Manja."


Seraphina memelototinya, tetapi sebelum ia bisa membalas, Lyra meletakkan tangannya di bahu gadis itu.


"Makanlah perlahan, Nak. Tidak ada yang akan menilaimu di sini."


Seraphina menoleh ke arahnya, dan untuk sesaat, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia temukan di istana.


Lihat selengkapnya