Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #40

Bab 39: Takhta yang Ditinggalkan

Kepulangan yang Tidak Diinginkan


Udara di dalam LeviShip terasa lebih dingin dari biasanya. Seraphina duduk diam di dekat jendela besar, menatap cakrawala tanpa ekspresi. Di kejauhan, pilar-pilar megah Istana Aurelion menjulang, siluetnya dipenuhi cahaya dari kota di bawahnya.


Dunia yang seharusnya menjadi rumahnya… tetapi kini terasa asing.


Di sebelahnya, Fidelis tetap diam. Ekspresi wanita itu tetap tenang, tetapi Seraphina tahu, di balik sorot matanya yang tajam, ada sesuatu yang tidak ia ungkapkan.


Saat LeviShip melayang turun ke dermaga istana, barisan prajurit berbaju zirah emas berbaris rapi di sepanjang jalur masuk.


Seraphina turun dari kapal.


Udara istana terasa lebih berat dari yang ia ingat. Setiap langkah di atas marmer yang berkilau terasa seolah-olah mengantarnya menuju sesuatu yang tidak bisa dihindari.


Fidelis berjalan di sampingnya, dan di depan mereka, seorang pelayan tua dengan pakaian hitam menundukkan kepala.


"Yang Mulia sedang menunggu Anda."



---


Perpisahan Terakhir dengan Seorang Ayah


Kamar Cassian Solis tidak seperti yang biasa Seraphina lihat.


Dulu, ruangannya dipenuhi cahaya dari kristal energi yang bersinar lembut, dengan aroma teh herbal yang selalu menenangkan.


Tetapi kini, semua terasa lebih gelap. Tirai ditutup, hanya sedikit cahaya dari lampu holografik yang menyinari ruangan.


Di tengahnya, di atas ranjang besar dengan ukiran emas, Cassian terbaring lemah.


Seraphina berdiri di ambang pintu, dadanya terasa sesak.


Ayahnya selalu tampak kuat, seorang raja yang disegani, seorang pria yang selalu berdiri tegak dalam segala situasi.


Tetapi hari ini… ia hanya seorang ayah yang sedang menunggu ajalnya.


Pelan, Seraphina melangkah mendekat. "Ayah…"


Cassian membuka matanya perlahan. Pandangannya redup, tetapi senyum kecil muncul di wajahnya saat melihat putrinya.


"Seraphina… kau sudah pulang."


Suara itu lemah, hampir seperti bisikan.


Seraphina duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan ayahnya yang terasa lebih dingin dari biasanya. "Aku di sini, Ayah. Aku pulang."


Cassian menghela napas pelan, tatapannya melembut. "Maafkan aku… karena tidak bisa melindungimu."


Seraphina menggeleng cepat. "Jangan bicara seperti itu. Aku baik-baik saja. Aku selamat."


Ayahnya tersenyum lemah. "Ya… kau selamat. Tapi aku tidak."


Hening.


Seraphina menggigit bibirnya. "Ayah, ini bukan akhir. Tabib kerajaan pasti bisa menyembuhkanmu. Mereka—"


Cassian mengangkat tangannya sedikit, menyentuh kepala putrinya dengan lembut.


"Tidak ada yang bisa menghentikan ini, Nak."


Seraphina merasakan matanya mulai memanas.


"Ayah…"


Cassian menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Jamuan teh dengan para bangsawan… itu adalah jebakan. Seseorang… entah siapa… mengetahui pertemuan itu dan meracuniku."


Seraphina membeku.


Jebakan.


Ayahnya… diracun.


Dunia terasa berputar di sekelilingnya.


"Aku tidak ingin kau tahu… aku tidak ingin kau terlibat…" suara Cassian semakin lemah. "Tapi aku bersyukur masih bisa memberitahumu… sebelum terlambat."


Seraphina menunduk, air mata akhirnya jatuh. "Jangan pergi, Ayah… kumohon…"


Cassian tersenyum sekali lagi.


"Kau adalah cahaya terakhir keluarga ini, Seraphina. Takhta ini akan menjadi milikmu suatu hari nanti. Aku percaya… kau akan menjadi ratu yang hebat."


Tangannya melemah.


"Aku bangga padamu."


Dan saat itu juga, napas terakhirnya dihembuskan.


Cassian Solis telah tiada.


Seraphina tetap duduk di sana, menggenggam tangan ayahnya yang kini tak lagi bernyawa.


Di luar, angin malam bertiup pelan, tetapi di dalam ruangan itu, segalanya terasa membeku.


Di usia tujuh tahun, Seraphina telah kehilangan satu-satunya pelindungnya.


Dan di balik tirai kamar, seseorang menyaksikan dengan diam, menunggu saat yang tepat untuk bertindak.




Ratu yang Baru, tetapi Belum Siap


Istana Aurelion tidak pernah terasa sepi.


Di setiap sudutnya, ada seseorang yang bekerja, prajurit yang berpatroli di lorong-lorong marmer, pelayan yang sibuk menjaga kebersihan, para penasihat yang tak pernah berhenti berdiskusi di ruang pertemuan.


Tetapi bagi Seraphina, dunia ini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.


Ayahnya telah tiada.


Dan sekarang, ia harus belajar menggantikannya.



---


Pelajaran Seorang Calon Ratu


Sejak pagi hingga senja, hari-hari Seraphina dipenuhi dengan pelajaran yang melelahkan.


Di ruang strategi, ia duduk di depan peta holografik kerajaan Aurelion, mendengarkan para jenderal menjelaskan posisi benteng pertahanan di sepanjang perbatasan.


Di aula ekonomi, ia harus memahami bagaimana perdagangan antarplanet bekerja, bagaimana pajak dikumpulkan, bagaimana keseimbangan antara kemakmuran dan kekuatan harus dijaga.


Di ruang diplomasi, ia berhadapan dengan utusan dari kerajaan lain, belajar bagaimana memilih kata-kata yang tepat, bagaimana membaca ekspresi wajah, bagaimana berbohong dengan sopan.


Seraphina merasa seolah dunianya berubah dalam semalam.


Dulu, ia hanya seorang anak yang menjalani hari-hari tanpa beban.


Sekarang, setiap langkahnya diperhitungkan.


Setiap kata-katanya diawasi.


Setiap keputusan yang ia buat bisa menentukan nasib ribuan orang.



---


Peran Ibunya – Ratu Lysandra Solis


Selama masa transisi ini, Ratu Lysandra Solis, ibunya mengambil alih sementara takhta kerajaan.


Berbeda dengan Cassian, yang dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan tegas, Lysandra lebih dingin, lebih perhitungan.


Ia tidak menunjukkan kesedihan yang mendalam atas kematian suaminya.


Di depan para bangsawan, ia tetap anggun, tetap kuat.


Tetapi di balik pintu tertutup, Seraphina melihat bagaimana ibunya berdiri lama di balkon istana, menatap langit dengan mata kosong.


Seraphina tahu, ibunya tidak menunjukkan kelemahannya, karena kerajaan ini tidak memberi ruang untuk itu.


Sama seperti dirinya, ibunya harus bertahan.



---


Beban yang Tidak Pernah Diminta


Malam itu, Seraphina berdiri di balkon kamarnya, menatap cahaya kota Aurelion yang berpendar di kejauhan.


Di bawahnya, dunia terus bergerak.


Tetapi di dalam hatinya, ia merasa terperangkap.


Menjadi seorang ratu bukan hanya soal mengenakan mahkota dan duduk di singgasana.


Menjadi seorang ratu berarti harus mengorbankan sebagian dari dirinya sendiri.


Seraphina meremas pagar balkon dengan jemarinya.


Dalam kepalanya, ia terus mengingat kembali sesuatu yang terasa begitu jauh…


Sebuah rumah sederhana di ladang gandum.

Seorang wanita yang lembut dan penuh kasih sayang.

Seorang anak laki-laki yang menatapnya dengan mata penuh tekad.


Arya.


Seraphina menarik napas panjang.


Ia mencoba mengingat suara Arya saat memanggil namanya… tetapi yang tersisa hanyalah gema samar yang semakin lama semakin redup.


Waktu terus berjalan, dan ia mulai takut…


…bahwa suatu hari, ia akan melupakan semuanya.



Lima Tahun Berlalu – Takhta yang Semakin Dekat


Sudah lima tahun sejak Seraphina Solis kembali ke istana Aurelion.


Lima tahun sejak kematian ayahnya.


Lima tahun sejak ia meninggalkan kehidupan yang sederhana, kehidupan yang terasa lebih nyata daripada semua kemewahan yang kini mengelilinginya.


Kini, ia bukan lagi gadis kecil berusia tujuh tahun yang tersesat di dunia rakyat jelata.


Ia adalah calon ratu Aurelion.


Ia telah belajar bagaimana berbicara seperti pemimpin.

Ia telah belajar bagaimana membuat keputusan yang bisa mengubah nasib ribuan orang.

Ia telah belajar untuk tidak menunjukkan kelemahan.


Tetapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang tetap tidak berubah.


Meskipun tahun-tahun berlalu, meskipun wajah-wajah baru muncul di sekelilingnya…


Kenangan tentang seseorang yang ia tinggalkan masih bertahan.



---


Perjamuan di Balairung Aurelion


Balairung Istana Aurelion dipenuhi cahaya keemasan.


Kristal raksasa yang tergantung di langit-langit bersinar lembut, memantulkan cahaya lilin holografik yang melayang di udara. Musik klasik dimainkan oleh orkestra kerajaan, memenuhi ruangan dengan harmoni yang elegan.


Di bawah langit-langit megah itu, para bangsawan berkumpul, berdansa, berbincang, dan menatap takhta kosong yang suatu hari akan diduduki oleh Seraphina Solis.


Seraphina sendiri duduk di sisi ruangan, tangannya menggenggam gelas anggur kosong yang belum disentuhnya.


Hari ini seharusnya menjadi malam di mana ia diperkenalkan sebagai calon ratu yang baru.


Tapi bagi Seraphina, ini hanyalah malam di mana ia semakin sadar bahwa ia terjebak dalam dunia yang bukan miliknya.



---


Pikiran yang Mengembara ke Masa Lalu


Orang-orang berbicara, tetapi ia tidak mendengar mereka.


Ia bisa melihat wajah-wajah para bangsawan yang tersenyum kepadanya, bisa mendengar suara tertawa mereka di kejauhan.


Tapi semua itu terasa seperti gema yang jauh.


Di dalam pikirannya, ia tidak berada di sini.


Ia berada di ladang gandum yang diterpa angin.


Di rumah kecil dengan perapian hangat.


Di tempat di mana ia tidak perlu menjadi seorang putri, di tempat di mana seseorang menatapnya bukan sebagai pewaris takhta, tetapi sebagai dirinya sendiri.


Arya…


Lima tahun telah berlalu.


Seharusnya kenangan itu memudar.

Lihat selengkapnya