Celestial Odyssey The unknown Horizon

Arya Sanubari
Chapter #41

Bab 40: Jejak Waktu yang Menghantui

Langit yang Tak Berubah, Dunia yang Berbeda


Angin berhembus lembut di atas ladang gandum, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Di kejauhan, matahari kembar mulai tenggelam di cakrawala, meninggalkan semburat merah keemasan di langit.


Seorang pemuda berdiri di sana, tangannya menggenggam pagar kayu yang mulai lapuk oleh waktu. Tubuhnya tinggi dan kekar, lebih kokoh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahunya lebih lebar, dan sorot matanya tidak lagi polos seperti dulu.


Lima tahun telah berlalu sejak hari itu.


Hari ketika suara terakhirnya tenggelam dalam dentuman mesin LeviShip yang membawanya pergi. Hari ketika ia berdiri di tempat ini, menatap langit dengan perasaan kosong yang tidak bisa ia jelaskan.


Dunia tidak berubah. Langit tetap sama.


Tetapi dirinya? Ia bukan lagi anak laki-laki berusia 9 tahun yang menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali.


Ia kini 14 tahun, tetapi rasanya seolah hidupnya telah berjalan lebih lama dari itu.


---


Hidup yang Terus Berjalan


Lima tahun terakhir bukanlah waktu yang mudah.


Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya muncul di cakrawala, ia sudah bekerja di bengkel tua milik Rodin. Tangannya yang dulu kecil kini lebih kuat, lebih kasar, karena setiap hari ia berurusan dengan logam, oli, dan mesin yang terlalu tua untuk diperbaiki dengan mudah.


"Kalau kau terus bekerja seperti ini, kau bisa menggantikan aku nanti," kata Rodin suatu hari sambil tertawa.


Arya hanya mengangkat bahu. "Aku tidak berencana menetap di sini."


Rodin memandangnya lama. "Lalu, kau mau ke mana?"


Arya tidak menjawab. Bukan karena ia tidak tahu, tetapi karena ia belum bisa mengatakannya.


Selain di bengkel, ia juga sering membantu di ladang. Karung-karung gandum yang dulu terasa berat kini bisa ia angkat dengan mudah. Otot-ototnya mulai terbentuk, tubuhnya semakin tinggi, dan orang-orang mulai melihatnya sebagai pria muda, bukan bocah kecil yang dulu hanya berlari-lari di jalan desa.


Namun, tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan.


Setiap malam, setelah semua pekerjaannya selesai, ia selalu kembali ke bukit kecil di luar desa. Tempat di mana ia terakhir kali melihat Seraphina. Tempat di mana ia dulu percaya bahwa janji mereka masih berarti sesuatu.


Tetapi semakin lama, semakin sulit untuk meyakinkan dirinya sendiri.


---

Perpisahan yang Tak Terhindarkan


Di dalam rumah kecil yang diterangi lampu minyak, Lyra berdiri dengan tangan terlipat di dadanya. Tatapannya tajam, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan.


Di hadapannya, Arya berdiri tegak, mengenakan pakaian perjalanan yang sederhana—sebuah jaket usang, celana yang sudah lama tidak baru, dan tas kecil berisi perbekalan seadanya.


Mereka saling menatap tanpa kata.


Hingga akhirnya, Lyra menghela napas. "Jadi, ini keputusanmu?"


Arya mengangguk. "Aku sudah memikirkannya lama, Bu. Aku harus pergi."


"Kau tahu perjalanan ini bukan perjalanan biasa, bukan?" suara Lyra terdengar tegas. "Aurelion bukan tempat bagi orang seperti kita."


"Aku tidak peduli," Arya menjawab dengan suara mantap. "Aku akan menjadi prajurit, bagaimanapun caranya."


Lyra menatapnya lama sebelum akhirnya berjalan ke meja, membuka laci tua, dan mengambil sesuatu. Sebuah pisau kecil dengan ukiran halus di gagangnya.


"Ambillah," katanya sambil menyerahkannya pada Arya. "Ini bukan sekadar senjata. Ini pengingat bahwa kau masih punya rumah di sini."


Arya mengambilnya, merasakan beratnya di telapak tangannya. Ia menggenggamnya erat.


"Jangan mati di luar sana," suara Lyra melembut, tetapi penuh peringatan.


Arya menatap ibunya satu kali lagi sebelum melangkah keluar.


Lihat selengkapnya