“Segala sesuatu di alam semesta ini berjalan dalam pola yang berulang, siklus tanpa akhir yang membentuk jalannya sejarah. Beberapa menyebutnya kehendak kosmik, sementara yang lain melihatnya sebagai kebetulan belaka. Tapi bagi mereka yang telah menyentuh esensi dari waktu itu sendiri, mengalaminya secara langsung, mereka tahu… bahwa ada garis-garis samar yang menghubungkan semua realitas.
Dan di antara garis-garis itu, ada satu titik temu yang selalu kembali ke tempat yang sama.”
•Bagian 1: Istana Aurelion – Pagi Hari Sebelum Balairung
Fidelis Caelora terbangun sebelum fajar menyingsing. Embusan angin dingin menerpa jendela kamarnya, membawa suara laut yang bergemuruh dari kejauhan. Ia menatap langit yang mulai berpendar, matanya menelusuri warna-warna yang perlahan berubah dari biru kelam menjadi emas dan ungu secara lembut.
Hari ini adalah hari Balairung.
Segalanya telah disiapkan sejak berbulan-bulan lalu. Para bangsawan akan berkumpul, keputusan penting akan dibuat, dan beban yang ditanggung Seraphina Solis akan semakin berat.
Namun, yang paling menarik bagi Fidelis bukanlah politik kerajaan atau perdebatan yang akan terjadi di dalam Balairung nanti.
Tetapi kenyataan bahwa mungkin seseorang yang Seraphina tunggu akan datang.
Dan jika itu benar… maka roda takdir telah benar-benar mulai berputar kembali.
---
Taman Dalam Istana
Di tengah heningnya pagi, Seraphina berdiri di bawah lengkungan bunga angsana yang bermekaran. Gaun putih sederhananya melambai tertiup angin, kontras dengan rambut emas panjang yang jatuh di punggungnya. Sinar matahari pagi menyentuh wajahnya, menampilkan kecantikan yang semakin matang di usianya yang ke-22 tahun.
Namun, meski serupa dewi yang turun ke dunia, ekspresinya tetap tenang, nyaris dingin.
Fidelis berjalan mendekat. "Pagi yang tenang," katanya.
Seraphina hanya menoleh sebentar sebelum kembali menatap langit. "Ya."
Fidelis memperhatikannya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Hari ini akan menjadi hari yang panjang. Apa kau siap?"
Seraphina mengangguk. "Aku harus siap. Tidak ada pilihan lain."
Senyap sesaat.
Kemudian, dengan suara pelan namun penuh harapan, Seraphina berbisik, "Apakah kau pikir dia akan datang?"
Fidelis tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Seraphina, memperhatikan sekilas cahaya di mata merahnya cahaya yang selama ini redup, tetapi kini tampak menyala kembali.
"Siapa yang kau maksud?" tanyanya, meski sudah tahu jawabannya.
Seraphina tersenyum kecil, hampir tidak terlihat, lalu menunduk sedikit. "Arya."
Nama itu bergema dalam pikiran Fidelis.
Beberapa bulan lalu, ia masih mengingat pertemuannya dengan Arya, ia memberikan 50 koin kerajaan bukan sebagai hadiah, tetapi sebagai alat. Sebuah batu loncatan.
Dan kini, pemuda itu telah menjadi prajurit kerajaan.
Fidelis tidak percaya pada kebetulan. Jika Arya benar-benar muncul di Balairung malam ini, maka itu berarti takdir telah memilihnya untuk berjalan di jalur yang lebih besar, tapi jika dia muncul malam ini maka waktunya tidak tepat.
Lalu, dengan senyum tipis, ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Seraphina.
"Mungkin saja," jawabnya.
Seraphina menghela napas dalam.
"Aku akan menjadi ratu yang baik," katanya pelan. "Jika rajaku adalah dia."
Fidelis hanya diam. Ia tidak akan menghancurkan harapan itu bukan karena ia yakin bahwa Arya memang akan datang, tetapi karena ia tahu bahwa harapan adalah satu-satunya yang membuat Seraphina tetap bertahan.
Dari kejauhan, dentang lonceng istana menandakan bahwa hari telah benar-benar dimulai.
Dan takdir pun kembali bergerak menuju satu titik temu yang tak terhindarkan.
•Bagian 2: Taman Dalam Istana – Malam Sebelum Pelantikan
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga angsana yang bermekaran di taman dalam istana Aurelion. Di bawah lengkungan tanaman merambat yang dihiasi cahaya lilin holografik, Seraphina berdiri diam, tubuhnya bersandar pada pilar marmer putih. Gaun putih sederhananya melambai tertiup angin, kontras dengan rambut emas panjang yang jatuh di punggungnya.
Di kejauhan, pintu besar Balairung Aurelion berdiri megah, memancarkan aura kekuasaan yang tak tergoyahkan. Namun, bagi Seraphina, malam ini terasa lebih berat dari sebelumnya.
Fidelis Caelora melangkah pelan mendekatinya, mantel hitam panjangnya berkibar tertiup angin. Matanya yang tajam memandang Seraphina dengan penuh perhatian, tetapi ia tidak langsung berbicara.
Seraphina menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini," katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Fidelis berhenti beberapa langkah darinya, lalu bersedekap. "Tidak ada seorang pun yang benar-benar siap untuk menjadi ratu," katanya pelan. "Tetapi kau telah dilatih untuk ini sepanjang hidupmu."
Seraphina menoleh ke arahnya, matanya berkilat dengan kecemasan. "Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku mengecewakan semua orang?"
Sebelum Fidelis sempat menjawab, langkah ringan terdengar dari belakang mereka. Lyndia Solis, Ratu Aurelion, mendekat dengan wibawa yang anggun namun penuh kasih sayang. Rambut peraknya bersinar lembut di bawah cahaya lilin holografik.
Tanpa berkata apa-apa, Lyndia menarik putrinya ke dalam pelukan hangat. Seraphina membeku sesaat sebelum akhirnya membalas pelukan itu.
"Anakku," Lyndia berkata lembut di dekat telinganya. "Kau tidak perlu takut. Kau adalah cahaya terakhir keluarga kita. Kau akan menjadi ratu yang hebat."
Seraphina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya..."
Lyndia mengusap kepala putrinya dengan lembut sebelum melepaskan pelukannya. "Kau tidak sendirian," katanya dengan suara tegas namun penuh kehangatan. "Aku dan Fidelis akan selalu berada di sisimu."
Namun sebelum Seraphina bisa menjawab, Fidelis melangkah maju dan berbicara dengan nada lebih serius. "Ada satu hal yang harus kau ingat malam ini," katanya sambil menatap langsung ke mata Seraphina.
"Apa itu?" tanya Seraphina pelan.
"Caelum Vortiger," jawab Fidelis tanpa ragu-ragu. "Dia mungkin tidak menunjukkan apa-apa secara langsung, tetapi jangan pernah meremehkan ambisinya. Penolakanmu sebelumnya telah membuatnya kehilangan muka di depan seluruh bangsawan. Jika dia merencanakan sesuatu di balik layar, kita harus siap."
Lyndia menatap Fidelis dengan ekspresi tajam sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Dia benar," katanya kepada Seraphina. "Caelum bukan seseorang yang akan menerima kekalahan begitu saja."
Seraphina terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku akan berhati-hati."
Fidelis memandangnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti peringatan daripada dukungan.
"Dengan hati-hati dan kewaspadaan," katanya pelan.
—
Menuju Balairung
Dentang lonceng istana menggema di udara malam saat mereka bertiga melangkah menuju pintu besar Balairung Aurelion. Langkah mereka mantap meskipun hati masing-masing dipenuhi oleh ketegangan yang sulit dijelaskan.
Ketika pintu besar terbuka perlahan, suara derit logam bergema di seluruh ruangan megah itu.
Balairung Solaris dipenuhi cahaya keemasan dari kristal-kristal langit-langit yang bersinar lembut di atas lantai marmer hitam berkilauan. Para bangsawan dari berbagai planet berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbincang dan tertawa dengan gaya anggun mereka.
Namun begitu pintu besar terbuka sepenuhnya dan Lyndia Solis melangkah masuk bersama Seraphina dan Fidelis di belakangnya.
Seluruh ruangan terdiam.
Bisikan berhenti.
Tawa memudar.
Semua mata tertuju pada mereka bertiga.
Sorotan utama jatuh pada Seraphina Solis sang calon ratu baru yang malam ini berdiri sebagai simbol harapan bagi kerajaan Aurelion.
Sorakan pecah tiba-tiba dari sudut ruangan.
"Ratu baru kita!" teriak salah satu bangsawan muda dengan penuh semangat.
Sorakan itu segera diikuti oleh tepuk tangan meriah dari seluruh ruangan. Para bangsawan mulai berdiri dari kursi mereka, memberikan penghormatan kepada keluarga kerajaan yang baru saja tiba.
Seraphina menelan ludahnya perlahan saat ia melangkah masuk lebih dalam ke ruangan itu. Jantungnya berdebar kencang saat ia mencoba menjaga postur tubuhnya tetap anggun seperti seorang pemimpin sejati.
Di tengah sorakan itu, Lyndia Solis berjalan lebih maju ke depan untuk menerima penghormatan para tamu secara resmi, sementara Fidelis tetap berada di sisi Seraphina untuk memastikan semuanya berjalan lancar.
Namun bahkan di tengah kemeriahan itu—
Ada sesuatu yang terasa salah bagi Fidelis.
Matanya menyapu seluruh ruangan dengan cermat mencari sesuatu atau seseorang tetapi ia tidak menemukan apa pun yang mencurigakan... setidaknya belum.
Dan kemudian waktu berlalu.
Beberapa jam acara berlangsung tanpa gangguan.
Hingga pintu besar kembali terbuka—
Duke Varian dan Arya akhirnya tiba.
•Bagian 3: Jejak Takdir yang Terulang
Balairung Aurelion – Malam Pelantikan
Balairung Solaris bersinar megah di bawah cahaya keemasan dari kristal-kristal langit-langit yang memancarkan kilauan lembut di lantai marmer hitam. Para bangsawan dari berbagai planet berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbincang dan tertawa dengan gaya anggun mereka. Namun bagi Seraphina Solis, malam ini terasa seperti panggung besar di mana setiap langkahnya diawasi.
Ia berdiri di tengah ruangan bersama ibunya, Ratu Lyndia Solis, dan Fidelis Caelora. Gaun putih keemasannya melambai pelan saat ia melangkah maju untuk menyapa para tamu. Wajahnya tetap tenang, nyaris dingin, sebuah topeng yang telah ia kenakan selama bertahun-tahun sebagai calon ratu.
Namun, saat pintu besar kembali terbuka dan dua sosok masuk ke dalam ruangan, langkahnya terhenti.
Arya.
Seraphina tidak pernah mengira bahwa ia akan melihatnya lagi setelah 15 tahun perpisahan mereka. Pemuda itu kini berdiri tegap, tubuhnya tinggi dan kekar, rambut hitamnya berantakan namun memancarkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan. Matanya coklat menatap lurus ke depan, penuh tekad meskipun ia berada di tengah kerumunan bangsawan yang memandang rendah dirinya.
Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba tetap bersikap dingin seperti biasanya, tetapi emosinya mulai menguasai dirinya. Rambut emas panjangnya jatuh menutupi wajahnya saat ia menunduk sedikit, wajahnya memerah karena perasaan yang tak bisa ia kendalikan.
Kenangan masa lalu mulai mengalir dalam pikirannya: saat pertama kali mereka bertemu di ladang gandum di Lembah Bulg, saat Arya menyelamatkannya dari bahaya, saat mereka berlari bersama di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang. Janji Arya untuk selalu melindunginya masih terngiang jelas dalam benaknya.
Dan sekarang... setelah bertahun-tahun berlalu... mereka bertemu lagi.
Namun sebelum ia bisa melangkah lebih dekat—
Fidelis bergerak cepat ke arah Arya.
Seraphina melihat Fidelis mendekati Arya dengan langkah tegas. Ia tidak mendengar apa yang dikatakan Fidelis sepenuhnya, tetapi gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia ingin menjauhkan Arya dari keramaian.
Arya tampak bingung sejenak sebelum akhirnya Fidelis mendorongnya perlahan ke sudut ruangan. Seraphina menatap mereka dari kejauhan, matanya sedikit melebar karena keterkejutan.
"Apa yang sedang terjadi?" pikirnya. Hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan ketakutan.
Arya terlihat berbicara sesuatu kepada Fidelis suara mereka terlalu jauh untuk didengar oleh Seraphina tetapi ekspresi Fidelis tetap serius. Ia tahu bahwa Fidelis adalah seseorang yang selalu menjaga stabilitas kerajaan, tetapi mengapa ia tampak begitu keras kepada Arya?
Tak lama kemudian, Fidelis kembali ke sisinya. Wajahnya tetap tenang seperti biasanya, tetapi ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Lyndia pelan kepada Fidelis.
Fidelis mengangguk singkat. "Untuk sekarang, ya."
Namun sebelum Seraphina sempat bertanya lebih lanjut tentang apa yang baru saja terjadi—
Suara Duke Varian memecahkan suasana.
Duke menyempitkan matanya saat mendekati Arya dengan langkah penuh wibawa. Suaranya rendah tetapi tajam seperti belati. "Kau benar-benar membuatku muak."
Seraphina terdiam sesaat, matanya beralih ke arah Duke Varian dengan perasaan gelisah.
Duke berbalik, berjalan ke arah para tamu dan bangsawan dengan langkah penuh wibawa. Namun sebelum pergi, ia berkata dengan suara yang cukup keras untuk didengar semua orang:
"Aku meminta maaf karena memiliki pengawal ksatria yang tidak becus. Setelah acara ini selesai, aku akan memulangkannya."
Seraphina merasakan dingin merayap di tubuh Arya saat mendengar kata-kata itu, Duke akan menyingkirkannya. Dan yang lebih buruk ia belum bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan itu.
Di sudut lain ruangan, Fidelis yang menyaksikan kejadian itu menepuk dahinya sendiri.
“Sial,” gumamnya pelan.
Maafkan aku, Arya. Bertahanlah selama mungkin. Aku akan menyelamatkanmu setelah acara ini selesai.
Namun sebelum Arya bisa mencari cara untuk menyelamatkan dirinya dari situasi ini—
Tatapan dingin Seraphina tiba-tiba beralih ke arahnya.
Untuk sepersekian detik, mata merah itu berkilat dengan sesuatu yang berbeda, sebuah harapan bercampur dengan ketakutan akan kehilangan lagi.
Arya menahan napas.
Apakah dia melihatku?
•Bagian 4: Rahasia dibalik rahasia
Seraphina duduk diam di kursinya, mencoba menjaga postur tubuhnya tetap anggun meskipun hatinya berdebar kencang. Di sampingnya, Ratu Lyndia Solis tampak tenang, tetapi tatapan matanya sesekali menyapu ruangan dengan kewaspadaan.