Di suatu tempat, di suatu waktu yang belum datang, sesuatu berubah.
Bukan ledakan, bukan distorsi besar.
Hanya sebuah ketidakstabilan kecil dalam struktur realitas.
Seperti sebuah getaran samar dalam jaringan kuantum alam semesta, sesuatu telah menyimpang dari jalurnya.
Tidak ada yang mendeteksi ini. Tidak ada yang memperhatikannya.
Tetapi di suatu tempat, di sebuah titik yang seharusnya tidak mengalami gangguan…
Seseorang terbangun.
Napasnya pendek.
Matanya menyapu ruangan, seolah mencari sesuatu yang seharusnya ada, tetapi kini telah hilang.
Di sudut pikirannya, sebuah nama hampir muncul…
Tetapi nama itu tidak pernah terucap.
Karena bagaimana mungkin seseorang bisa mengingat sesuatu…
Yang seharusnya tidak pernah ada?
—
Fidelis Caelora terbangun dengan napas terengah-engah. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja melarikan diri dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kamar pribadinya di kompleks ilmuwan kerajaan terasa sunyi, hanya diterangi cahaya redup dari langit malam buatan yang terpantul di kubah transparan. Di luar sana, planet Aurelion Prime bersinar megah dengan kota-kota melayang dan menara kristal yang menjulang tinggi ke langit.
Wanita itu adalah Fidelis Caelora, keturunan terakhir dari keluarga Caelora, sebuah garis keturunan yang telah bersumpah setia pada keluarga kerajaan Solis Aurelion selama ribuan tahun. Namun, di matanya, kesetiaan ini bukanlah suatu kehormatan, melainkan beban. Tidak ada laki-laki di keluarganya untuk meneruskan nama Caelora, dan itu membuatnya diremehkan oleh banyak pihak. Dalam dunia yang masih memegang teguh nilai konservatif tentang kepemimpinan militer dan sains, seorang perempuan dianggap tidak cukup layak untuk menanggung tanggung jawab sebesar itu.
Namun Fidelis tidak peduli. Dia telah membuktikan dirinya sebagai salah satu ilmuwan paling brilian di Aurelion, bekerja di pusat riset utama kerajaan untuk mengembangkan berbagai teknologi peradaban, termasuk proyek Dyson Sphere, sebuah proyek ambisius yang bertujuan untuk memanen energi bintang utama tata surya mereka, Helios Cendrana.
Malam ini bukanlah malam biasa. Untuk kesekian kalinya, dia mengalami mimpi yang terasa lebih nyata daripada kehidupan itu sendiri. Mimpi tentang kehancuran, tentang api yang melahap ibu kota kerajaan, tentang suara jeritan yang memenuhi udara. Dan tentang seorang pria dengan wajah kabur dari ingatannya, seorang pria yang dalam mimpinya selalu berusaha menyelamatkan Tuan Putri Seraphina Solis tetapi selalu gagal.
Fidelis memegang kepalanya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. "Ini bukan sekadar mimpi," bisiknya pelan. "Ini… adalah ingatan dari masa depan."
Setelah kematian Raja Cassian Solis akibat racun misterius, Seraphina tidak pernah melarikan diri dari istana seperti di timeline utama. Tanpa Arya dalam realitas ini, Seraphina tetap berada di bawah perlindungan ibunya dan menjalani pelatihan intensif untuk menjadi ratu masa depan.
Caelum Vortiger melihat kesempatan besar dalam situasi ini. Dengan Lyndia memimpin sementara dan Seraphina belum sepenuhnya siap untuk mengambil alih takhta, dia mencoba mendekati Seraphina dengan niat menikahinya demi menguasai kerajaan.
Namun rencananya tidak berjalan seperti yang dia harapkan.
Dalam pertemuan pribadi mereka di istana, Caelum mencoba meyakinkan Seraphina dengan argumen manipulatif tentang stabilitas kerajaan. "Yang Mulia," katanya dengan nada lembut tetapi penuh perhitungan. "Aku hanya ingin melindungi kerajaan ini. Dengan aku di sisimu sebagai raja, kita bisa memastikan kekuatan dan kestabilan Aurelion."
Seraphina menatapnya dengan dingin sebelum menjawab tegas, "Aku tidak akan menikahi seseorang seperti dirimu."