Tahun 2016
Kamar hotel itu nyaris tenggelam dalam gulita. Tirai tebal menutup rapat jendela, menyisakan ruangan yang hanya diterangi cahaya berkedip dari televisi. Layar kaca itu memutar video YouTube yang sudah dikenal Anisa luar kepala—Dimas, kekasihnya, berdiri di panggung, tersenyum cerah di hadapan ribuan penonton daring, merayakan pencapaian fantastis: jutaan subscriber.
Namun malam itu, suara video sengaja ia matikan. Anisa hanya menatap gelap dengan mata setengah terpejam, membiarkan cahaya televisi menari-nari di dinding kamar. Ia lelah, bukan hanya raga, tapi juga jiwanya.
Bunyi bel pintu mendadak memecah keheningan. Sekali. Dua kali. Lalu berulang, makin keras, makin mendesak. Anisa menggeliat gelisah di ranjang, mencoba mengabaikan, tetapi suara itu tak kunjung berhenti. Akhirnya, dengan napas kesal, ia bangkit.
Ia tahu siapa yang datang, bahkan sebelum membuka pintu.
Dimas berdiri di sana, wajahnya setengah muram, setengah kesal. Tanpa permisi, ia melangkah masuk. Aroma parfumnya segera memenuhi ruangan. Anisa menutup pintu perlahan, lalu menatapnya tanpa kata.
“Kenapa belum siap, Nisa? Aku sudah menunggu lama di lobi.” Nada Dimas terdengar meninggi, penuh tuntutan. Matanya lantas membelalak ketika melihat Anisa masih mengenakan piyama. “Kamu… mau tidur?”
Anisa tidak menjawab. Ia berjalan kembali ke ranjang, duduk santai, lalu meraih remote televisi. Jemarinya menekan tombol sembarangan, mengganti saluran hanya untuk menunjukkan satu hal: ia tidak peduli.
“Kan sudah aku kirim pesan kemarin,” katanya akhirnya, datar. “Aku nggak bisa ikut acara malam ini.”
Dimas menarik napas panjang. Ia mencoba menahan diri, meski jelas rasa kecewa menyelinap ke suaranya. “Tapi ini malam penting, Nisa. Bukan cuma buatku, tapi buat kita. Semua orang menunggu.”
Anisa tidak menoleh. Tatapannya tetap terpaku pada layar televisi.
Dengan langkah hati-hati, Dimas mendekat, lalu duduk di sampingnya. Tangannya meraih bahu Anisa, memeluk dari samping. Ia tahu betul, diam Anisa adalah tanda bahaya. Anisa bukan tipe yang meledak-ledak; ia justru diam, dingin, tapi dalam diam itu ada amarah yang membeku.
Dimas menunduk, mencium pipinya berulang kali, mencoba mencairkan es di antara mereka. “Tiga juta subscriber, Nisa… tiga juta. Kita harus merayakan malam ini.”