Cellular Memory

Bramanditya
Chapter #3

Dreams

Tahun 2018


Senja merayap turun perlahan, meninggalkan garis merah di langit barat. Nina duduk di puncak sebuah bukit yang telah dipaving rapi, membiarkan matanya menatap cakrawala yang menyala tembaga. Laut di kejauhan berkilau, seakan menyimpan rahasia yang ingin ia temukan.

Ia tidak tahu bagaimana bisa sampai di sana. Ia hanya tahu hatinya resah, seolah sedang menunggu seseorang yang sudah terlalu lama hilang.

Dan tiba-tiba, seseorang meraih tangannya.

Nina menoleh. Seorang pria duduk di sampingnya, pandangannya menerawang jauh ke laut. Wajahnya samar, seolah ditutupi kabut senja. Tetapi ada sesuatu pada kehadirannya—sesuatu yang membuat dada Nina bergetar hebat, seperti deja vu yang tak bisa dijelaskan.

Bibir Nina bergerak. Ia ingin menyapanya, menanyakan siapa dia, atau sekadar mengucap satu kata sederhana: “Hai.” Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya kesunyian yang membungkamnya.

Pria itu tersenyum tipis, tetap menatap laut, tidak memalingkan wajah. Dan semakin keras Nina mencoba bicara, semakin kosong udara di sekitarnya.

Perasaan asing yang menyesakkan merambati tubuhnya. Ia ingin memeluk sosok itu, ingin menggenggam erat agar tak lenyap. Namun tubuhnya kaku, seolah beku oleh sihir. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap, dan akhirnya—menangis. Air matanya jatuh deras, dan ia berteriak sekuat tenaga… tapi teriakan itu tenggelam tanpa suara.

Lalu, pria itu menghilang.

Nina terperanjat, berdiri, mencari-cari ke sekeliling bukit. “Di mana kau?” ingin ia teriakkan, namun suara tetap tertelan. Hanya deru angin senja yang menjawab. Air matanya semakin deras.

Hingga akhirnya, ada sentuhan lembut di bahunya. Nina terkejut. Saat ia menoleh, dunia senja runtuh, dan ia tersentak bangun dari tidurnya.

Matanya basah. Tubuhnya masih bergetar.

Di sampingnya, Raka sudah terjaga. Lelaki itu menggenggam tangannya erat, wajahnya cemas. “Nina…” hanya itu yang ia ucap.

Tanpa kata, Nina langsung memeluknya. Tangisnya pecah di dada Raka, dan Raka, setia seperti selalu, hanya membalas pelukannya dengan diam.

---


Pagi datang dengan cerah di Sydney. Sisa hujan semalam hanya meninggalkan kilau bening di dedaunan taman kota. Dari balkon apartemennya di Edgecliff, Nina berdiri dengan secangkir teh hangat di satu tangan dan dua lembar kertas di tangan lainnya.

Ia menatapnya lama.

Satu lembar menampilkan siluet wajah seorang pria—kabur, tidak jelas, tapi baginya begitu nyata. Lembar lainnya menampilkan siluet senja di sebuah bukit. Tempat yang sama persis seperti dalam mimpinya.

Lihat selengkapnya