Dulu, ketika dunia masih tampak kecil dan kata-kata memiliki kekuatan untuk melukai lebih dalam daripada batu, Anisa sudah tahu rasanya berdiri di tengah hujan hinaan. Mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang tidak manusiawi, melemparkan cacian seolah itu adalah permainan anak-anak yang tanpa beban. Tapi luka yang ditinggalkan — itu tidak pernah kering.
“Ibu bilang kamu anak haram karena ibumu nggak nikah pas lahirin kamu!” teriak seorang anak perempuan sambil menunjuk-ngacung seperti hakim kecil.
“Kakakku bilang kamu anak haram karena ibumu pelacur,” ejek anak lain, suaranya tinggi, menggantung di udara seperti selaksa jarum.
“Kamu anak haram, kan? Makanya nggak ada yang mau temenan sama kamu,” tambah yang lain, tawa mereka menggemakan kebencian.
Anisa duduk di tanah berpasir di halaman sekolah, tubuhnya kecil menunduk dalam posisi melindungi diri, kepala tertunduk di antara kedua lutut. Tangan-tangan kecil yang tak kenal belas kasih itu melayangkan kata-kata seperti batu. Mereka membuat lingkaran, menyerang bukan dengan pukulan tetapi dengan kata-kata; kata-kata yang lebih tajam dari pisau karena meninggalkan bekas pada harga diri yang rapuh.
Saat itu, dunia sepi dalam rongga telinganya. Ejekan melemahkan, tapi yang paling menganga adalah ketidakpedulian. Tak seorang guru pun datang mengusir mereka, hanya deru angin dan daun yang bergesek malu. Keheningan itu hampir memecah kesunyian ketika sosok baru muncul dari tepi kerumunan — anak lelaki yang sejak seminggu terakhir menjadi teman sebangku Anisa.
Ia datang tanpa riuh, tanpa pengumuman. Hanya langkah yang tegap, tangan yang terulur. Ada sesuatu pada tatapannya: bukan iba, bukan pula rasa ingin disanjung. Hanya kepastian yang tenang, seperti batu yang diletakkan untuk menahan gelombang.
Anisa mengangkat wajahnya, air mata masih mengalir di pipi. Mata mereka bertemu. Dalam satu tarikan napas panjang, ia meraih tangan yang diulur itu. Tangan lelaki itu kokoh—hangat. Dia membantu Anisa berdiri, bukan dengan menggendong, tapi dengan memberi tempat berdiri yang sama di sampingnya.
“Dimas,” ia memperkenalkan diri kepada anak-anak yang kini kehilangan kegaduhan. Nama itu menggenang di udara, bukan sebagai sesuatu yang memicu ejekan, melainkan sebagai catatan kecil pengalih perhatian. Dimas mencondongkan tubuh, memberi sapu tangan pada Anisa yang terbata-bata menerima. Ia menatap sekilas pada wanita paruh baya yang berdiri dekat sebuah mobil mewah. Wanita itu memanggil dengan nada keras, menghentikan adegan seperti sutradara yang menutup sebuah adegan.
Permintaan maaf tak sempat terlontar. Anisa memegang sapu tangan itu, masih ragu, namun ada sesuatu yang baru: rasa aman yang tiba-tiba menghangat di dada. Dimas hanya tersenyum tipis, lalu berjalan pergi. Di belakangnya tertinggal jejak sepatu mahal dan tas mahal yang kontras dengan rutinitas sederhana di kampung itu. Anak-anak yang tadi mencibir, satu per satu, meninggalkan tempat itu; mereka kehilangan bahan ejekan. Dunia kecil Anisa berubah arah dalam satu sentuhan.
---
Tahun 2016.
Lampu-lampu hotel bergemerlap melebur dengan riuh pesta. Di lobi, perayaan tiga juta subscriber kanal Dimas memekarkan sorak-sorai dan gelak tawa. Musik berdentang, gelas beradu, dan layar besar menayangkan montage perjalanan—cuplikan jejak perjalanan yang dahulu bermula dari desa, dari impian yang setengah gila. Semua tampak sempurna di layar; di balik layar, Anisa berjalan diam-diam menjauh.