Cellular Memory

Bramanditya
Chapter #5

Time


Semuanya seperti gerakan lambat bagi Raka, seperti adegan di film-film romantis yang sering ia lihat. Ia terpana hingga suara-suara di sekitarnya perlahan meredup, membiarkan hanya detak jantungnya sendiri yang terdengar begitu jelas.

Suasana Berkelouw Cafe Paddington siang itu ramai; barista sibuk dengan mesin kopi yang menderu, pintu kaca berderit setiap kali terbuka, dan pelanggan lalu-lalang dengan langkah tergesa. Namun semua hiruk pikuk itu tak lagi berarti, karena pandangan Raka terpaku pada satu sosok.


Perempuan itu duduk tak jauh darinya. Rambutnya dipotong sebahu dengan gaya klasik ala Demi Moore di era 90-an—sederhana, namun melekat sempurna pada wajah mungilnya. Ada sesuatu pada garis rahangnya, pada sorot matanya yang teduh namun menyimpan kedalaman, yang membuat Raka seakan terhipnotis.

“Lupakan,” suara Daniel memecah lamunannya. Ia meletakkan secangkir kopi di meja, lalu duduk di samping Raka.

“Hah…?” Raka tersadar, namun matanya masih setengah enggan beralih.

“Lupakan,” ulang Daniel, kali ini lebih menekan.

Raka mengernyit, pura-pura menyesap kopi di depannya untuk menutupi aktivitas mengaguminya. “Apa maksudmu?”

Daniel terkekeh pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku tahu tatapan itu. Kau menatapnya seakan-akan dia satu-satunya perempuan yang pernah kau lihat seumur hidup.”

Raka mencoba tersenyum, menutupi rasa malu yang mulai muncul. “Kau berlebihan.”

“Tidak,” Daniel menatapnya tajam, lalu melirik ke arah perempuan itu. “Lihat, dia sendirian. Senyum yang ditahan, tangan gemetar memegang cangkir… kau kira apa artinya?”

Raka menelan ludah, menahan rasa ingin tahu yang kian tumbuh. Ia memang memperhatikan: tangan perempuan itu bergetar samar saat ia meneguk kopinya, wajahnya sesekali menegang, seperti menahan sesuatu di dalam dirinya.

“Dia bukan tipe perempuan yang bisa kau dekati dengan basa-basi murahan,” lanjut Daniel. “Ada sesuatu di balik matanya. Entah luka, entah rahasia.”

Raka meletakkan cangkirnya, pandangan matanya tak pernah benar-benar lepas. “Mungkin justru itu yang membuatku tak bisa berpaling.”

Daniel mendesah, menyerah pada keras kepala sahabatnya. “Baiklah. Tapi jangan bilang aku tidak memperingatkanmu.”


---

Seolah waktu mendengar doanya, kesempatan datang dengan sendirinya.

Pelayan lewat membawa baki penuh gelas. Satu langkah salah, baki itu miring, dan secangkir kopi panas hampir tumpah ke arah perempuan itu.

Tanpa berpikir panjang, Raka bergerak. Tangannya terulur cepat, menahan baki sebelum benar-benar jatuh. Beberapa tetes kopi tercecer ke meja, tapi bencana berhasil dihindari.

Perempuan itu menoleh, terkejut. Matanya yang besar dan bening langsung bertemu dengan mata Raka. Untuk sesaat, dunia benar-benar berhenti.

“Terima kasih…” suaranya lirih, hampir berbisik.

Raka merasa dadanya diremas lembut. Ia ingin menjawab, namun kata-kata tercekat di tenggorokan. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk canggung.

Pelayan sudah meminta maaf berulang kali, tapi Raka tak mendengarnya. Ia hanya mendengar gema lembut dari suara perempuan itu.

---


Beberapa menit kemudian, ketika suasana kafe kembali normal, perempuan itu bangkit dari kursinya. Ia berjalan pelan menuju rak buku yang berdiri di sudut kafe—ciri khas Berkelouw yang juga menjual buku bekas. Jemarinya menyusuri punggung buku, seakan mencari sesuatu.

Raka memperhatikannya dengan diam-diam. Ada keanggunan dalam setiap gerakannya, meski sederhana. Saat akhirnya ia menarik satu buku—Wuthering Heights—dan membolak-balik halamannya, cahaya dari jendela jatuh ke wajahnya, membuatnya tampak semakin rapuh sekaligus kuat.

Daniel menyikutnya. “Kalau kau tidak bicara sekarang, kau akan menyesal seumur hidup.”

Raka meneguk habis kopinya, menarik napas panjang, lalu berdiri. Langkahnya ia arahkan ke rak buku itu.


---


Lihat selengkapnya