Cellular Memory

Bramanditya
Chapter #6

Rise and Fall

"Every rise carries the seed of its own fall."

— Unknown


Setiap kisah cinta memiliki akar, masa tumbuh, masa mekar—dan terkadang, masa layu.

Bagi Dimas dan Anisa, cinta itu lahir di tanah yang keras: dari caci maki masa kecil, dari kos sempit di Jakarta, dari nasi goreng yang dibagi dua di atas meja reyot. Mereka tumbuh bukan dengan kemewahan, melainkan dengan keberanian untuk tetap saling menggenggam tangan di saat dunia melepaskan mereka.

Namun cinta yang bertumbuh di tanah sederhana itu harus berhadapan dengan cahaya yang lebih terang. Popularitas datang seperti ombak besar, mengangkat mereka ke puncak yang dulu tak pernah berani mereka bayangkan.

Dan di sanalah segalanya berubah—ketika ambisi mulai berbicara lebih nyaring daripada janji.

Ini adalah kisah tentang bangkitnya dua jiwa yang pernah berjuang bersama, dan retakan pertama yang diam-diam mulai menggerogoti fondasi cinta mereka.

Kisah tentang kebersamaan yang pernah seindah matahari terbit… namun perlahan menggelap oleh bayangan jatuhnya senja.

---

Dimas Anggara bukan hanya seorang fotografer berbakat; ia juga seorang influencer muda yang wajah tampannya mudah memikat lensa kamera. Namun di balik popularitas yang mulai diraihnya di Instagram dan YouTube, ada satu sosok yang membuat seluruh mimpinya berjalan: Anisa Rahmawati.


Anisa bukan sekadar kekasih. Ia adalah sahabat masa kecil, tangan kanan, sekaligus penopang segala keperluan Dimas di balik layar. Saat Dimas sibuk berbicara lantang di depan kamera, Anisa yang menyiapkan set; saat Dimas menatap jauh melalui lensa kamera, Anisa yang memegang sisa-sisa beban hidup mereka. Bersama, mereka memulai dari nol.


---


Segalanya berubah ketika Yoga, kakak Dimas, mengetahui hubungan mereka.

Hari itu, pertengkaran pecah di halaman rumah. Kata-kata kasar meluncur dari mulut Yoga, menghina Anisa dengan kalimat-kalimat yang menusuk hati. “Anak haram! Tidak pantas kau bersama keluarga kita!”

Anisa menunduk, menahan air mata. Tapi Dimas tidak tinggal diam. Tinju pertamanya mendarat di rahang Yoga, dan baku hantam antara kakak-adik tak terhindarkan. Sejak hari itu, garis pemisah digambar jelas: keluarga Dimas menolak keberadaan Anisa.

Ayahnya mengultimatum. “Kembali ke Bandung, selesaikan kuliahmu. Jauhi perempuan itu, atau kau bukan lagi anak kami.”

Itu pilihan yang sulit. Dimas tahu, tanpa keluarganya ia akan kehilangan segalanya: biaya kuliah, tempat tinggal, bahkan warisan. Tapi ia juga tahu, Anisa sudah berkorban begitu banyak untuknya. Gadis itu pindah ke Jakarta hanya demi memenuhi permintaannya, bekerja di sebuah minimarket, dan tetap tersenyum meski dunia memandang rendah dirinya.

Malam itu, Dimas menatap Anisa yang tertidur di kursi kayu kos sempit mereka. Kamar berukuran tiga kali tiga meter itu jauh dari kenyamanan rumah mewah yang dulu dimilikinya. Namun di ruangan kecil itu, ia merasa lebih hidup. Dan tanpa ragu, ia memilih: Anisa.


---


Perjuangan mereka pun dimulai.


Pagi hingga siang, Dimas kuliah di Universitas Trisakti, jurusan Seni Rupa dan Desain. Malam hari, ia mengais nafkah sebagai fotografer freelance: pesta pernikahan, pemotretan majalah kecil, bahkan acara ulang tahun anak-anak orang kaya Jakarta. Setiap rupiah ia kumpulkan untuk biaya kuliah dan kehidupan sehari-hari.

Anisa tidak tinggal diam. Ia bekerja penuh waktu di minimarket, tapi di sela-selanya, ia selalu menemani Dimas di lapangan. Ia jadi asisten dadakan, membawakan tripod, mengatur pencahayaan, bahkan jadi model percobaan sebelum klien datang.

Di sebuah kos yang sempit dan jauh dari mewah, seperti tempat kos Dimas sebelumnya, mereka menghabiskan masa-masa indah dan penuh perjuangan bersama. Tangis dan tawa bahagia mereka rasakan bersama.


Lihat selengkapnya