Tahun 2018
Malam itu kembali menghadirkan mimpi yang sama.
Nina duduk di sebuah bukit dengan rerumputan yang seolah membisikkan rahasia. Dari atas sana, terbentang garis pantai panjang, laut biru yang kini terselimuti cahaya senja. Langit terbakar jingga kemerahan, seolah seluruh dunia meleleh dalam api sore terakhir sebelum gelap.
Ia merasa damai sekaligus resah, seakan menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Hatinya berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena kerinduan yang ia sendiri tak bisa jelaskan.
Tiba-tiba, sebuah tangan hangat meraih jemarinya yang terkulai di atas rumput.
Nina menoleh. Seorang pria duduk di sampingnya. Wajahnya samar, seperti terbuat dari kabut senja. Namun senyum itu… senyum itu terasa begitu nyata. Nyata hingga dadanya sesak. Air mata tiba-tiba mengalir, tanpa sebab yang bisa ia pahami.
Ia ingin bicara. Ingin menanyakan siapa dia, mengapa hadir di mimpinya malam demi malam. Bibirnya terbuka, tapi suaranya lenyap—tertelan oleh angin senja yang dingin.
Pria itu hanya menatap laut, tersenyum tenang. Tak ada kata, tak ada suara. Lalu, tanpa peringatan, ia menghilang—larut bersama cahaya jingga yang kian pudar.
Nina berdiri panik, air matanya makin deras. Ia mencari, berlari kecil di bukit itu, memanggil-manggil namanya—nama yang bahkan ia tidak tahu. Tapi suaranya tetap tak terdengar.
Saat tangisnya mencapai puncak, pundaknya disentuh dari belakang. Sentuhan itu mengguncangnya. Ia menoleh—dan seluruh dunia mimpi runtuh.
---
Nina terbangun dengan tubuh masih terguncang. Air mata mengalir membasahi pipinya.
Di sampingnya, Raka sudah bangun. Lelaki itu memegang tangannya erat, wajahnya diliputi cemas. “Nina…” hanya itu yang ia ucapkan, suaranya serak menahan takut.
Nina langsung memeluknya, membiarkan tangisnya pecah di dadanya. Raka tidak bertanya apa-apa. Ia hanya merengkuh Nina lebih erat, seolah pelukannya bisa mengusir bayangan lelaki asing dari mimpinya.
Hening menemani mereka malam itu, hanya suara napas dan sisa isak.
---