"Parting is such sweet sorrow, yet in every farewell lies the hope of return."
— Anonymous
Ada pelukan yang dimaksudkan untuk menghangatkan.
Ada pelukan yang dimaksudkan untuk meyakinkan.
Dan ada pula pelukan terakhir, yang tak bisa diulang lagi, hanya tinggal menjadi ingatan.
Bagi Dimas dan Anisa, pelukan itu bukan sekadar salam perpisahan. Ia adalah janji yang dibisikkan di antara air mata, janji yang menggantung di udara: akan kembali, meski tak ada yang tahu kapan, atau dalam keadaan seperti apa.
---
Tahun : 2016
Pagi itu Anisa berdiri di depan cermin, mencoba menata dirinya sebaik mungkin. Matanya sembab karena tangis semalam, namun disembunyikannya di balik kacamata hitam. Di samping koper yang telah rapi, ia menarik napas panjang, seolah mengumpulkan sisa tenaga untuk melangkah.
Hari ini adalah hari terakhir. Setelah pemotretan di Ubud, ia tahu, semuanya tak akan sama lagi.
Dengan langkah pasti, Anisa membuka pintu kamarnya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Dimas tertidur di depan pintu. Lelaki itu, dengan wajah letih dan pakaian yang kusut, tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.
Dimas terbangun mendengar suara pintu terbuka. Refleks ia berdiri, merapikan dirinya seadanya, lalu segera menarik tangan Anisa. “Masuk lagi,” pintanya dengan nada panik, nyaris seperti rengekan.
Anisa menepis genggaman itu. Mereka berdiri berhadapan, diam-diam menimbang luka yang sama. Anisa membuang muka, berusaha tetap tegar, sementara tatapan Dimas penuh sesal dan kebingungan.
Ketika Dimas mencoba meraih tubuhnya untuk dipeluk, Anisa melangkah mundur. “Sebaiknya kamu bersiap. Jangan sampai klien menunggu di Ubud,” ucapnya dingin, meski suaranya bergetar.
Namun Dimas, dengan wajah penuh kecemasan, kembali menarik tangannya. “Nisa, tolong... dengarkan aku dulu.”
Kali ini Anisa tak melawan. Ia hanya diam, membiarkan Dimas memeluknya. Tapi tidak ada balasan. Ia berdiri kaku, membeku di dalam pelukan yang dulu selalu ia rindukan.
“Ini tugas terakhirku, Mas,” bisiknya lirih. “Setelah Ubud, aku tak bisa menemanimu lagi.”