"Dreams are echoes of memories we cannot name,
whispers of lives we might have lived."
— Anonymous
Mimpi seharusnya hilang begitu mata terjaga.
Namun bagi Nina, mimpi itu justru menetap—datang berulang seperti gema yang tak pernah letih menggetarkan dinding hatinya. Setiap malam wajah seorang lelaki asing hadir dalam benaknya, semakin jelas, semakin nyata, seolah menuntutnya untuk mengingat sesuatu yang tak pernah ia miliki.
Dan setiap kali terbangun, air matanya jatuh begitu saja, tanpa alasan yang mampu ia jelaskan. Bukan karena obat, bukan pula karena sisa trauma operasi. Ia mulai sadar: mimpi itu sendiri adalah sumber kepedihan, membawa rasa kehilangan yang tak pernah ia pahami.
---
Beberapa minggu berlalu sejak hari terakhir Nina menjalani pemeriksaan di rumah sakit. Ia pikir, dengan selesainya kewajiban kontrol pasca-transplantasi jantung, hidupnya akan kembali normal. Namun, kenyataan berkata lain. Malam-malamnya masih dihantui mimpi yang sama—mimpi tentang seorang lelaki dengan wajah kian jelas, dan pemandangan senja di sebuah bukit yang menatap laut luas.
Awalnya Nina mencoba mengabaikan mimpi itu. Ia membiarkan datang dan pergi, berusaha menganggapnya hanya bunga tidur. Tapi semakin lama, mimpi itu bukan sekadar hadir. Ia mengguncang batinnya. Setiap kali terbangun, ia mendapati dirinya menangis tanpa alasan yang dapat ia jelaskan. Dulu, ia mengira perubahan emosinya hanyalah efek samping obat-obatan, atau ketidakstabilan psikis setelah operasi besar. Namun perlahan ia menyadari—bukan obat, bukan luka, bukan trauma medis. Mimpi itulah pemicu segalanya.
Kesibukan bekerja di toko roti pun tak mampu mengalihkan perhatiannya. Saat adonan dipanggang, saat aroma manis menguar memenuhi udara, pikirannya tetap terikat pada wajah lelaki asing dalam mimpinya. Pensil dan kertas menjadi pelampiasan; ia menggambar setiap detail yang sempat ia ingat. Siluet samar berubah menjadi garis tegas. Lekuk wajah lelaki itu semakin nyata. Begitu pula senja di bukit itu—perlahan terlukis jelas, menampakkan garis pantai yang membentang panjang di bawahnya.
Nina menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Di depan Raka, ia berusaha bersikap normal. Ia tidak ingin menambah beban pria yang selalu ada di sisinya, yang sudah setahun penuh mendampinginya melewati badai. Tetapi rahasia, betapapun dijaga, selalu mencari jalan keluar. Dan hari itu, rahasia Nina menemukan celahnya.
---
Siang itu, langit Sydney cerah. Di atas rooftop toko roti tempat mereka bekerja, Nina dan Flora duduk melepas lelah. Flora sibuk menyantap salad, sementara Nina hanya menatap kosong ke arah kota, membiarkan saladnya tergeletak di pangkuan.
“Nina.” Suara Flora memecah keheningan.
Nina tidak merespons.
“Nina.” Flora menepuk bahu sahabatnya.
Nina tersentak, baru sadar dari lamunannya. Ia menunduk dan mendapati salad miliknya sudah jatuh ke lantai. Dengan canggung, ia memungutnya dan menaruh di samping.
“Aku perhatikan dari kemarin, kamu sering melamun. Ada masalah denganmu atau Raka?” tanya Flora sambil mengunyah suapan terakhirnya.
Nina tersenyum singkat. “Semuanya baik-baik saja dengan Raka.”