Bandara Ngurah Rai sore itu penuh sesak. Suara pengumuman keberangkatan bercampur dengan langkah-langkah kaki yang tergesa, roda koper yang beradu, dan percakapan dalam berbagai bahasa. Namun, di tengah keramaian itu, Anisa berdiri bagai patung yang kehilangan arah.
Air matanya jatuh perlahan, tanpa bisa ia tahan. Ia tidak peduli jika orang-orang menoleh ke arahnya. Di hatinya, suara lirih Dimas masih menggema—“Jangan pergi, Nisa… jangan tinggalkan aku.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau.
Baru saja mereka berpelukan, begitu erat seakan dunia bisa runtuh kapan saja. Baru saja ia menatap mata lelaki itu, yang penuh panik dan cinta bercampur ketakutan. Baru saja ia berjanji akan kembali. Namun janji itu terasa rapuh, sebab dirinya sendiri tidak tahu apakah ia benar-benar sanggup menepatinya.
Anisa menggenggam koper dengan tangan gemetar. Ia ingin sekali berlari kembali ke arah tempat Dimas berdiri, meraih tangannya, dan berkata ia tidak sanggup pergi. Tetapi langkah-langkah orang di sekitarnya menolak kemungkinan itu; bandara terus bergerak, dunia terus berjalan, sedangkan hatinya tertinggal di pelukan terakhir itu.
Ia mengangkat kepalanya, menatap papan elektronik keberangkatan. Matanya kabur oleh air mata, tapi ketika huruf-huruf itu terbaca jelas, ia tahu ke mana ia harus pergi: Bandung. Kota yang dulu ia tinggalkan dengan luka, kota tempat ibunya tinggal. Rumah.
Bukan karena ia siap menghadapi masa lalu, melainkan karena ia tahu hanya dengan pulang ia bisa menemukan dirinya yang hilang.
---
Rumah sederhana itu berdiri di ujung jalan kampung. Pagar bambu masih sama, pohon jambu masih tegak, hanya lantainya kini sudah keramik putih. Sepuluh tahun lamanya Anisa tidak menjejakkan kaki di sana, namun setiap detailnya tetap lekat dalam ingatan.
Tangannya terhenti di depan pintu kayu. Ia mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi tubuhnya gemetar. Ingatan lama menyeruak, menyesakkan dada. Malam itu, ia remaja yang ketakutan. Ayah tirinya pulang dalam keadaan mabuk, kata-kata kasarnya berubah menjadi tangan yang hendak meraih. Tatapan matanya membuat Anisa mual. Ia berlari sekuat tenaga, hanya sempat menuliskan sepucuk surat tergesa untuk ibunya. Ia tidak berpamitan. Ia hanya pergi, demi menyelamatkan dirinya.
Air matanya jatuh lagi. Jemarinya yang gemetar akhirnya mengetuk pintu itu, tiga kali.
Pintu terbuka. Sosok perempuan paruh baya berdiri, wajahnya terkejut. “Nisa…” suara itu pecah, bergetar, setengah tidak percaya.
“Ibu…” Anisa meraih tangan ibunya, menciumnya, lalu memeluk erat tubuh yang dirindukannya selama ini. Mereka berdua menangis tanpa kata, membiarkan pelukan itu menjadi jembatan bagi tahun-tahun yang hilang.
“Kamu ke mana saja, Nisa? Tidak pernah kirim kabar… Ibu khawatir sekali,” ucap ibunya sambil mengusap air mata Anisa.
“Maafkan aku, Bu… maafkan Nisa.”
Mereka masuk ke ruang tamu. Rumah itu memang berubah, tapi kehangatan ibunya tetap sama. Anisa duduk, menatap ibunya yang tersenyum lembut.
“Ibu sehat, kan?” tanyanya dengan suara serak.
“Ibu sehat, Nis. Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah, Nisa sehat, Bu.”
Ibunya tersenyum lega. Namun pertanyaan berikutnya membuat Anisa tercekat. “Kamu datang sendiri? Mana Dimas?”
Anisa terdiam. Ia tidak mungkin menjelaskan sekarang. Jadi ia hanya menggenggam tangan ibunya dan tersenyum samar. “Nisa ingin beristirahat sebentar, Bu. Itu saja.”