Cellular Memory

Bramanditya
Chapter #11

The Heart That Remembers

Tahun 2018


Malam itu, Sydney terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan seperti gugusan bintang yang tersesat di bumi, namun bagi Nina, cahaya itu tak cukup untuk mengusir gelap yang menggulung di dadanya.

Ia duduk di balkon apartemennya, tubuh mungilnya terbungkus jaket tipis, sementara angin laut membawa dingin yang menusuk kulit. Rambutnya terurai, menari perlahan ditiup angin malam. Tatapannya kosong, menembus cahaya taman kota yang jauh di bawah sana.

Di dalam, jam dinding berdetak pelan, menandai waktu yang seolah tak bergerak.

Raka baru saja pulang kerja. Jejak lelah masih menempel di wajahnya, tapi rasa cemas mengalahkan segalanya begitu ia melihat Nina dari ambang pintu balkon. Sejak menerima pesan singkat sore tadi—“Mas, pulanglah tepat waktu. Aku butuh kamu.”—hatinya terus gelisah. Nina bukan tipe perempuan yang meminta sesuatu tanpa alasan.

Ia melangkah mendekat, lalu membungkuk, mencium kening Nina dengan lembut.

“Sayang…” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.

Nina sedikit tersentak, baru menyadari kehadirannya. Ia menoleh, tersenyum tipis yang tak mampu menutupi gelisah di matanya. Tangannya reflek mengambil jaket Raka yang tadi ia letakkan di kursi, menaruhnya di pangkuan, lalu kembali menunduk.

“Semua baik-baik saja, kan?” tanya Raka lembut. Ada ketegangan di balik nada suaranya.

Nina tak segera menjawab. Ia menatap sesuatu di pangkuannya, lalu mengulurkan selembar kertas yang sudah terlipat rapi. “Lihat ini, Mas.”

Raka menerima kertas itu. Di permukaannya, tercetak sebuah artikel dengan judul tebal yang langsung mencuri perhatiannya:

“Kisah Donor Organ yang Menyentuh Hati: Seorang Wanita yang Memorinya Tersambung dengan Pendonor Setelah Transplantasi Jantung dan Paru-Paru.”


Raka membaca cepat, lalu mendongak menatap Nina. “Kamu... mencoba mencari tahu identitas pendonormu?”

Air mata Nina mulai jatuh sebelum sempat ia menjawab. “Iya, Mas. Aku sudah memohon pada pihak rumah sakit, tapi mereka menolak. Katanya itu rahasia, hanya bisa dibuka dengan izin pengadilan. Aku… aku tidak tahan lagi.” Suaranya bergetar. “Mimpi-mimpi itu datang hampir setiap malam. Wajah seorang lelaki yang tidak kukenal. Sebuah tempat di tepi bukit, dan rasa kehilangan yang tak bisa dijelaskan. Aku terbangun dengan dada sesak, seolah jantungku sedang menangis.”

Raka terdiam. Ia meraih bahu Nina, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Sayang… itu sudah jadi prosedur. Rumah sakit tak bisa sembarangan membuka data donor.” Ia menarik napas panjang. “Tapi untuk apa kamu begitu ingin tahu siapa pendonormu?”

Pertanyaannya menggantung di udara, berat dan ragu. Raka sendiri tampak takut akan jawabannya.

Nina melepaskan diri dari pelukannya, berdiri, dan melangkah ke pagar balkon. Angin malam mengibaskan rambutnya, membuat bayangan wajahnya tampak samar di bawah lampu kota.

“Untuk apa?” suaranya pecah, menahan tangis. “Untuk memahami apa yang terjadi padaku, Mas. Penjelasan apa yang lebih masuk akal selain artikel itu?” Ia menoleh perlahan, menatap Raka dengan mata yang basah. “Aku tidak pernah mengalami hal aneh sebelum operasi. Tapi sejak transplantasi itu, semuanya berubah. Wajah itu, tempat itu, perasaan itu. Semua muncul bersamaan dengan jantung ini. Seolah aku ikut menanggung hidup seseorang yang belum sempat berpamitan.”

Ia menunduk, lalu berbisik pelan, seolah takut dengan kata-katanya sendiri.

“Atau mungkin ini... memang milik jantungku yang baru.”

Raka menatapnya lama. Ia bangkit, berjalan mendekat, dan menahan kedua bahunya. “Kenapa kamu tidak pernah bercerita padaku, Sayang?” suaranya bergetar halus. “Kenapa kamu harus menanggung semua ini sendirian?”

Nina menggeleng pelan, air matanya menetes membasahi jemarinya sendiri. “Awalnya aku pikir semua ini hanya efek samping obat. Tapi setiap kali mimpi itu datang, aku terbangun dengan perasaan kehilangan yang bukan milikku. Rasanya... seperti duka yang menempel di dinding hatiku.”

Ia memejamkan mata, tersengal dalam tangis yang tertahan. “Mas... bagaimana kalau dia mencoba menyampaikan sesuatu padaku? Sesuatu yang belum selesai... sesuatu yang tertinggal sebelum dia meninggal?”

Raka tak menjawab. Pandangannya kosong ke arah langit kota yang berkilau. Cahaya lampu apartemen lain memantul di matanya seperti bintang yang tenggelam.

“Mas...” Nina menyandarkan kepala di punggung Raka, nadanya lembut namun bergetar. “Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?”

Hening. Angin laut berembus melewati mereka, membawa aroma garam dan sunyi.

Akhirnya, Raka menoleh. Senyumnya tipis, tapi di balik itu ada luka yang dalam. “Maafkan aku, Sayang,” ujarnya pelan. “Aku tidak pernah bermaksud berbohong. Aku hanya takut... kenyataan ini terlalu berat untuk kamu tanggung.”

Nina menahan napas. Jantungnya berdetak cepat—entah karena gugup atau firasat buruk.

“Apa maksudmu, Mas?”

Raka menggenggam tangannya erat, seolah takut kehilangan pegangan. “Kamu ingat malam setahun lalu?” suaranya turun menjadi serak. “Saat kita dalam perjalanan pulang dari Maroubra Beach. Hujan badai malam itu.”

Nina menatapnya lekat, perlahan mengangguk. “Aku tidak akan pernah lupa malam itu.”

Raka menarik kursi dan duduk kembali di hadapan Nina. Tatapannya jauh, seperti tengah menggali sesuatu yang sudah lama ia kubur di pikirannya.

“Aku ingin kamu mendengarkan semuanya, Sayang. Karena malam itu... adalah awal dari semua ini.”


---


Hujan turun deras malam itu di pinggiran Sydney. Langit hitam seolah menelan seluruh cahaya kota, hanya sesekali kilatan petir menerangi jalan yang berkilau oleh genangan air. Raka mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya erat menggenggam setir. Wiper mobil bekerja keras mengusir air dari kaca depan, tapi pandangan tetap buram.

“Pelan saja, Mas. Anginnya kencang sekali,” kata Nina dari kursi penumpang, nada suaranya cemas.

Raka mengangguk tanpa menoleh. “Aku tahu. Kita sudah hampir sampai. Sedikit lagi keluar dari jalur pesisir.”

Namun baru beberapa detik setelah ucapannya, petir menyambar di kejauhan. Sekilas kilatan cahaya itu memperlihatkan sesuatu di jalan—sebuah bayangan manusia tergeletak di tengah aspal, tak bergerak.

“Ya Tuhan!” seru Raka spontan. Ia menginjak rem sekuat tenaga. Ban berdecit melawan jalan yang licin, dan mobil berhenti hanya beberapa meter dari sosok itu.

Hening. Hanya suara hujan yang mengguyur kaca.

Raka menatap lurus ke depan. Sosok itu masih di sana, tergeletak miring, sebagian tubuhnya tertutup mantel basah. “Nina, tetap di mobil,” katanya cepat, seraya meraih senter dari dasbor.

“Mas, tunggu! Bagaimana kalau dia—”

“Kalau dia butuh pertolongan, setiap detik berharga,” potong Raka, lalu membuka pintu. Angin dingin langsung menerpa tubuhnya, menampar wajahnya dengan air hujan.

Ia berlari ke tengah jalan. Sorot senter menembus tirai hujan, menyorot genangan air yang bercampur merah. Darah.

Tubuh perempuan muda. Wajahnya hampir tak dikenali, tertutup lumpur dan darah. Nafasnya tipis. Ada denyut nadi, tapi lemah sekali.

Raka memejamkan mata sejenak, menahan desakan mual, lalu berlari kembali ke mobil.

“Korban tabrak lari!” katanya cepat sambil membanting pintu. “Masih hidup, tapi kritis. Hubungi 911 sekarang!”

Nina menyalakan ponselnya dengan tangan gemetar. Suara hujan di atap mobil membuatnya sulit fokus. Ia menekan nomor darurat, menunggu sambungan. Tapi yang terdengar hanya bunyi nada putus-putus.

“Tidak ada sinyal!” serunya panik. Ia mencoba lagi, berpindah ke jendela. “Sial, badai memutus semua jaringan!”

Raka menatap ke luar. Jalan kosong, tak ada satu kendaraan pun lewat. Hanya suara badai yang menggeram di kejauhan.

Lihat selengkapnya