Tahun 2019
Senja di Parangtritis selalu punya caranya sendiri untuk menenangkan hati—dan di saat yang sama, membuatnya sesak tanpa alasan.
Langit sore itu berwarna jingga keemasan, perlahan menua menjadi merah lembut di tepi cakrawala. Angin laut selatan bertiup lembut, membawa aroma asin dan wangi tanah basah. Dari puncak Bukit Paralayang, debur ombak di bawah sana terdengar seperti napas panjang bumi yang tak pernah lelah. Cahaya matahari jatuh di atas laut, berkilau seperti ribuan serpihan kaca, dan di antara sinar itu, tampak dua manusia yang duduk diam: Nina dan Raka.
Hari itu adalah hari ketiga, sekaligus hari terakhir mereka di Yogyakarta.
Tiga hari mereka menapaki jalan setapak berbatu di bukit ini, menunggu tanda yang tak kunjung datang — seolah mimpi dan kenyataan terpisah oleh kabut yang terlalu tebal untuk disingkap.
Nina memeluk lututnya, menatap laut tanpa kata.
Sejak tiba di kota ini, ia merasa sesuatu memanggilnya setiap kali matahari tenggelam di ufuk selatan. Bukan sekadar rasa rindu atau penasaran — tapi semacam getaran lembut dari dalam dada, sesuatu yang tidak berasal darinya sendiri.
Raka duduk di sampingnya, diam, menatap profil perempuan yang ia cintai.
Ia tahu Nina tengah melawan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Sudah tiga hari kita di sini,” ucapnya perlahan.
Nina mengangguk kecil. “Mungkin kita memang tidak ditakdirkan menemukan apa pun.”
Nada suaranya pelan, tapi matanya tetap menatap jauh ke laut, seolah di sana tersimpan jawaban yang tak terucap.
“Mungkin ini konsekuensi dari sesuatu yang bukan sepenuhnya milikku,” lanjutnya.
“Jantung ini,” katanya pelan, menatap dadanya sendiri. “Mungkin ia masih menyimpan sesuatu dari pemiliknya. Mimpi-mimpi itu… mungkin bukan sekadar bunga tidur, tapi sisa kehidupan yang belum selesai.”
Raka menggenggam tangannya, hangat dan menenangkan.
“Kamu tidak sendiri. Apa pun yang ada di dalam dirimu, sekarang sudah menjadi bagian darimu. Dan aku di sini, bersamamu.”
Nina menatapnya, lalu tersenyum. “Yang penting aku di sini, di sisimu. Mengganggumu setiap hari.”
Keduanya tertawa kecil. Tawa itu menggema lembut di antara desir angin, mencairkan hening.
Namun di dalam dada Raka, ada sesuatu yang terasa berat—perasaan bahwa perjalanan mereka belum selesai, bahwa ada seseorang di luar sana yang sedang menunggu jawaban yang sama.
“Semoga mimpi-mimpi itu tidak membuatku kehilanganmu lagi,” gumamnya.
“Lagi?” tanya Nina, menoleh pelan.
“Waktu kamu di meja operasi dulu,” Raka menarik napas panjang. “Aku pikir aku benar-benar akan kehilanganmu.”
Nina menunduk, lalu bersandar di bahunya. “Tapi aku masih di sini.”
“Iya,” bisik Raka. “Dan itu sudah cukup bagiku.”
Langit semakin tua.