Tahun 2017
“Setiap perjalanan, tak peduli sejauh apa, selalu berusaha pulang."
Tapi terkadang, jalan pulang justru menjemput kita lebih dulu.”
Musik lembut mengalun di antara bayangan kota-kota yang berganti — gitar akustik, pelan tapi dalam. Seolah alam sendiri menulis kisah perjalanan seorang perempuan yang sedang mencari dirinya yang hilang.
Anisa berdiri di tepian dermaga Labuan Bajo. Angin laut menerpa rambutnya yang dibiarkan terurai, menari bersama aroma garam dan sinar matahari yang mulai tenggelam. Dari balik lensa kameranya, ia memotret perahu-perahu kecil yang berlayar ke arah horizon. Langit sore terbakar jingga — warna yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Sudah hampir setahun Anisa meninggalkan semuanya: pekerjaan, kehidupan di Bali, dan Dimas — lelaki yang dulu ia yakini akan berjalan bersamanya selamanya. Ia pergi tanpa pesan, tanpa kabar, hanya dengan sebuah ransel, kamera, dan seutas gelang dari tangan Dimas. Bukan untuk lari, tapi untuk menemukan arti dari kepergian itu sendiri.
Ia menyeberangi laut dan gunung; menapaki trotoar Yogyakarta, mendaki puncak Bromo saat fajar, menyusuri sawah hijau di Ubud, hingga menikmati senja sunyi di Toba. Di setiap tempat, ia menemukan sepotong dirinya yang dulu hilang dalam kebisingan dunia yang ia dan Dimas bangun bersama.
Musik berubah — sedikit lebih melankolis.
Potongan adegan pun berganti seperti montase film:
Anisa menulis di buku catatan usang di bawah pohon flamboyan, tertawa bersama anak-anak di Wae Rebo, termenung di tepi pantai Kuta Mandalika sambil menatap ombak.
Senyumnya tetap, tapi matanya menyimpan rindu yang tak pernah padam.
“Dimas,” bisiknya pada angin suatu malam di tepi pantai Kupang. “Aku masih mencintaimu, tapi aku harus mengenal diriku lebih dulu.”
Setahun kemudian, perjalanannya berakhir di tempat yang jauh dari awalnya: Sydney, Australia — kota yang pernah mereka impikan untuk kunjungi bersama.
---
Hari itu adalah hari ketujuh Anisa di Sydney. Ia sudah menjelajah hampir seluruh sudut kota: Circular Quay, Darling Harbour, hingga The Rocks yang penuh musisi jalanan. Besok pagi, ia akan pulang ke Indonesia — ke Yogyakarta, ke rumah, dan mungkin… kepada Dimas.
Selama setahun, ia sengaja menghilang dari dunia digital. Tak ada pesan, tak ada unggahan, tak ada jejak. Ia ingin benar-benar hidup tanpa sorot kamera, tanpa komentar, tanpa ekspektasi. Dunia yang dulu ia dan Dimas cintai kini terasa asing baginya; terlalu bising, terlalu palsu.
Namun setiap kali rasa sepi datang, tangannya selalu mencari gelang kecil di pergelangan tangannya — gelang rajut sederhana dari Dimas. Ia mengusapnya seperti menenangkan diri, seolah benda kecil itu masih menghubungkan jantungnya dengan milik lelaki yang jauh di sana.
“Besok, aku akan kembali,” ucapnya pada diri sendiri di depan cermin hotel kecil tempatnya menginap. “Aku sudah menepati janjiku, Mas.”
---
Sore itu, Anisa berdiri di Bondi Beach. Angin laut menerpa wajahnya, ombak menggulung lembut, dan matahari condong ke barat. Tempat ini adalah impian mereka dulu — yang tak pernah kesampaian.
Ia duduk di pasir, menatap orang-orang yang tertawa dan berswafoto. Dunia tampak damai. Tapi takdir memiliki cara yang rumit untuk memeluk seseorang.
Saat matahari turun ke balik laut, Anisa baru sadar tas kecilnya hilang — tas yang berisi dompet, tiket, uang, dan paspor. Panik melanda, keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia memeriksa ulang tempat ia duduk, toilet umum, bahkan kedai kopi tempat ia mampir tadi. Nihil.
Ia menepuk-nepuk kantung jaketnya — hanya beberapa lembar uang dolar yang tersisa. Malam mulai turun, dan Bondi berubah sunyi.
Dengan langkah cepat, ia menghampiri seorang penjaga pantai.
“Excuse me, I lost my bag… passport, everything,” ucapnya terbata-bata.
Penjaga itu mengerutkan kening, lalu memberi arahan ke kantor kecil di sisi pantai. “Try the lifeguard office. If someone found it, they’d hand it there.”
Anisa segera menuruti saran itu. Tapi di kantor penjaga pantai pun, hasilnya sama — tidak ada tas, tidak ada laporan penemuan. Seorang petugas muda hanya menatap iba, lalu menulis laporan seadanya di atas kertas.
“You should contact the Indonesian Consulate, miss. They’ll help with your passport.”
Anisa mengangguk. “Where is it?”
“Woollahra area. Quite far, maybe six, seven kilometers.”
Ia menatap petunjuk di ponselnya.
Jaraknya jauh. Dan hujan baru saja mulai turun. Tapi ia tidak punya pilihan lain.
---
Kamera menyala dengan bunyi kecil yang nyaris tak terdengar — klik lembut yang mengisi kesunyian kamar hotel. Cahaya oranye lampu kamar memantul di mata Anisa, memberi rona hangat pada wajah yang tampak lelah, namun masih berusaha tersenyum. Di luar jendela, langit Sydney mulai diguyur hujan tipis. Butirannya menetes perlahan di kaca, seperti detak waktu yang mengingatkan bahwa malam akan segera datang.
“Hari terakhirku,” ujarnya pelan, dengan nada lembut yang disertai senyum tipis.
Ia menatap lensa kamera seolah berbicara kepada seseorang yang jauh di seberang dunia — seseorang yang selalu ada dalam pikirannya.
“Setelah hampir setahun berpetualang… yang aku mulai dari kota Malang dan berakhir di Sydney ini, aku telah menemukan banyak hal. Teman, tempat, dan dunia baru yang membuka mataku — seperti yang dulu aku impikan.”
Anisa menatap bayangan dirinya di layar kecil kamera, lalu tersenyum lagi, kali ini lebih tenang, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.
“Aku berharap,” lanjutnya, suaranya bergetar halus, “setiap foto dan video yang aku buat selama perjalanan ini bisa memberikanmu inspirasi, Mas. Bahwa kita tak butuh banyak hal untuk merasa hidup. Hanya diri kita sendiri, sebuah kamera, dan dunia yang luas untuk kita jelajahi… tanpa perlu gemerlap dunia maya.”
Ia terdiam sejenak. Suara ombak yang datang dari kejauhan terdengar samar menembus dinding kamar hotel. Anisa menunduk, mengusap pelipisnya, lalu memegang gelang kecil di pergelangan tangan kirinya — gelang rajut berwarna tanah yang sudah memudar.
“Seperti perjalanan kita dulu di Wae Rebo…” bisiknya. Senyum kecil muncul di wajahnya, meski mata itu mulai berkaca
Kamera mengeluarkan bunyi bip pelan — tanda baterai mulai menipis.
Anisa melirik layar, lalu tertawa kecil. “Kamera ini sepertinya tahu kalau aku terlalu banyak bicara,” ucapnya pelan, seperti menegur dirinya sendiri.
Ia kembali menatap lensa kamera, matanya mulai menghangat.
“Aku akan segera kembali padamu, seperti janjiku dulu,” katanya, pelan namun tegas. “Aku rindu, Mas. Rindu padamu… dan rindu saat kita menghabiskan waktu di bukit Paralayang Parangtritis.”
Ia menahan tawa kecil, seperti sedang mengingat sesuatu yang lucu namun juga membuat hatinya nyeri.
“Anehnya, setiap kali aku menatap senja di tempat asing yang aku kunjungi, rasanya aku selalu kembali ke sana. Duduk di rerumputan bukit itu, menunggu matahari menghilang di balik laut… bersamamu.”
Suara Anisa mulai melembut.
“Tapi aku akan kembali,” ucapnya lagi, kali ini lebih pelan. “Aku berharap kamu masih menungguku di sana, walaupun kamu tidak pernah mendengar kabar dariku. Tapi aku sudah siap, Mas. Apa pun yang menantiku nanti saat kita bertemu, aku sudah siap.”