Tahun 2019
Langit di Parangtritis mulai kehilangan warna. Jingga berubah ungu, dan laut di bawah sana perlahan menjadi gelap seperti cermin yang menelan cahaya. Angin sore berhembus lebih dingin. Ketiganya—Nina, Raka, dan lelaki bernama Dimas—duduk dalam lingkar sunyi yang menegangkan.
Nina menyeka air matanya. Jemarinya gemetar saat mencoba menenangkan diri. “Maaf,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin. “Maaf kalau kami membuatmu takut atau panik. Kami hanya ingin… mencari jawaban.”
Dimas menatap kertas di tangannya—lukisan wajahnya sendiri yang diberikan oleh Raka.
Matanya berpindah ke wajah pasangan itu, bingung. “Tapi apa hubungannya semua ini dengan aku?”
Raka menatapnya tenang. “Perkenalkan, Mas. Saya Raka, dan ini Nina, kekasih saya.”
Ia mengulurkan tangannya, disambut oleh Dimas dengan sedikit ragu. Sentuhan singkat itu seolah menyalakan sesuatu di udara—sebuah arus halus yang membuat jantung Nina berdetak lebih cepat.
“Maaf kalau kami datang tiba-tiba begini,” lanjut Raka. “Kami hanya ingin memahami sesuatu yang selama ini mengganggu Nina—mimpi-mimpinya.”
Dimas masih menatap mereka bergantian, wajahnya sulit dibaca.
Nina menunduk, suaranya lirih, “Kami datang ke Jogja karena hanya tempat ini yang muncul berulang kali di mimpiku. Dan wajahmu, Mas… wajah yang sama seperti di lukisanku.”
Nina menatapnya dengan pandangan lembut, seolah menyadari luka lama di balik mata lelaki itu. “Kami juga tidak tahu pasti,” ujarnya pelan. “Tapi aku sering bermimpi tentang sosok yang ada di gambar itu. Tentang tempat ini juga. Itu satu-satunya petunjuk yang kupunya untuk menemukan kebenaran.”
Raka kemudian mengeluarkan satu lembar gambar lain—lukisan siluet dua orang di bawah senja, di puncak bukit yang sama. Ia menyerahkannya kepada Dimas.
Dimas menatapnya lama. Napasnya tampak tak beraturan. “Aku tidak mengerti… sama sekali.”
Ia mengangkat wajahnya. “Apa kalian… pernah melihatku di YouTube atau Instagram? Aku dulu seorang influencer, pembuat konten perjalanan.”
Raka menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Kami bahkan belum pernah melihatmu di media sosial mana pun, dan kami juga belum pernah datang ke tempat ini sebelumnya.”
Ia menatap Nina, sedikit khawatir. “Mungkin ini cuma kebetulan. Mungkin semua ini hanya—”
“Tidak!” potong Nina tiba-tiba, suaranya bergetar. Ia berdiri, lalu memalingkan wajahnya dari Dimas. “Kami datang jauh-jauh ke sini karena mimpi ini bukan kebetulan. Tapi…” suaranya melemah, “mungkin kami memang salah.”
Udara di antara mereka menjadi tebal. Raka berdiri, mencoba menenangkannya. Namun sebelum ia sempat berbicara, Dimas tiba-tiba berdiri juga, memandang Nina dengan mata yang berubah tajam karena sesuatu yang baru saja ia lihat.
Tangan Dimas terulur, memegang pergelangan tangan Nina dengan refleks.
“Darimana kamu dapat gelang ini?” tanyanya cepat. Suaranya pelan, tapi nadanya gemetar.
Nina terkejut, mencoba menarik tangannya, tapi Dimas tidak melepas genggamannya. Matanya menatap gelang itu lama—gelang rajut dengan batu-batu kecil berwarna pudar, tampak usang tapi masih utuh.
“Ini…” Dimas menarik napas dalam-dalam. “…ini gelang milik Anisa.”
Raka menatapnya dengan bingung. “Anisa?”
Dimas mengangguk, suaranya menurun menjadi hampir seperti bisikan. “Aku yang membuatnya sendiri untuk dia. Di Wae Rebo, Flores.”
Nina terdiam. Jemarinya perlahan melepaskan gelang itu dari pergelangan tangannya. Ia menyerahkannya pada Dimas tanpa berkata apa pun.
Dimas menatap gelang itu seperti menatap sesuatu yang baru saja kembali dari kubur.
“Setiap tempat yang kami kunjungi,” katanya lirih, “aku mengambil satu batu kecil—dari pantai, dari gunung, dari sungai—lalu kurangkai jadi gelang ini. Hanya satu. Untuknya.”
Ia menatap Nina lagi. “Darimana kamu mendapatkannya? Di mana Anisa sekarang?”
Nina menahan napas. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Raka meliriknya, memberi isyarat agar ia tetap tenang. Tapi Dimas sudah melangkah mendekat, matanya mulai basah.