Cellular Memory

Bramanditya
Chapter #15

The Heart That Learned To Let Go

Tahun 2019


Malam turun perlahan di atas bukit Paralayang.

Langit menjadi selimut ungu yang lembap, menelan warna senja terakhir. Di bawah sana, ombak terus memecah tanpa henti, seperti detak jantung bumi yang tak pernah berhenti berduka.

Tiga jiwa berdiri di antara bayang dan cahaya — masing-masing kehilangan, masing-masing menemukan.

Raka memeluk Nina erat, seolah takut waktu akan kembali merenggut apa yang baru saja mereka temukan. Dimas berdiri tak jauh dari mereka, menatap laut yang kini tak lagi hanya pantai, tapi juga makam bagi seluruh kenangannya.

Tak ada kata yang sanggup menampung perasaan itu.

Yang ada hanyalah udara asin, suara angin yang mengusap lembut, dan keheningan yang perlahan menjelma menjadi doa.

Dalam dada Nina, jantung itu berdetak — pelan, namun pasti.

Dan di setiap denyutnya, seolah ada bisikan kecil yang menenangkan Dimas dari kejauhan:

“Aku sudah pulang. Aku tidak pergi. Aku hanya berpindah tempat di dunia yang sama, agar kamu tahu… cinta tak pernah benar-benar berakhir.”

Dimas menutup matanya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadanya tidak terasa hampa lagi.

Ada sesuatu di sana — rasa sakit yang mulai tenang, dan cinta yang akhirnya menemukan bentuk baru.

Senja telah berakhir. Tapi hati itu,

telah menemukan jalannya kembali.


---

Malam turun perlahan, seperti selimut hitam yang menenangkan tapi berat.

Angin dari pantai selatan membawa aroma asin dan dingin yang menusuk. Langit di atas Parangtritis berpendar keperakan — senja telah berpulang, meninggalkan sisa cahaya yang menempel di cakrawala.

Nina dan Raka berjalan perlahan menuju parkiran, langkah mereka masih sarat diam yang belum terurai. Di bawah cahaya temaram lampu jalan, sosok Dimas tampak menunggu. Wajahnya letih, matanya sembab, tapi ada sesuatu dalam sorot itu — keinginan untuk memperbaiki yang tersisa.

“Menginaplah di tempatku malam ini,” ucap Dimas pelan, suaranya hampir seperti permohonan.

Raka memandangnya sejenak. “Tapi kami harus kembali besok.”

“Aku mohon.” Dimas menunduk, suaranya retak.

Nina memegang tangan Raka. Tatapannya lembut, meminta, seolah berkata bahwa mungkin inilah bagian dari takdir mereka.

Raka akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Kami akan mengikutimu dari belakang.”

Senyum kecil muncul di wajah Dimas. Senyum yang rapuh tapi jujur.

“Terima kasih.”


---


Mobil melaju perlahan di jalan yang sunyi. Lampu-lampu kota Yogyakarta menari di kaca depan seperti kenangan yang enggan hilang.

Nina bersandar di bahu Raka, matanya masih bengkak karena tangis yang belum kering.

“Maaf ya, Mas,” katanya pelan. “Kita jadi pulangnya mundur.”

Raka tersenyum, masih menatap jalan. “Kita berhutang nyawa pada Anisa. Setidaknya, kita bantu dia menemukan jalan pulang terakhirnya.”

Ia menoleh sebentar, menatap wajah Nina yang temaram diterangi cahaya dashboard. “Anisa sudah memberimu jantungnya, Sayang. Sekarang saatnya kita bantu dia menenangkan hatinya.”

Nina memejamkan mata, menahan perih yang datang tiba-tiba.

“Aku bisa merasakan apa yang Dimas rasakan malam ini,” katanya lirih. “Kehilangan seseorang… rasanya seperti dunia berhenti.”

Raka menghela napas panjang. “Aku tahu rasanya. Waktu kamu di meja operasi dulu, aku kira itu akhir segalanya. Aku bahkan lupa cara bernapas.”

Suaranya menurun, serak oleh kenangan.

“Aku berdoa waktu itu. Padahal aku tidak pernah berdoa sebelumnya.”

Nina menatapnya lama, lalu tersenyum kecil di antara air mata. “Dan doamu dijawab.”

Raka menggenggam tangannya dan mengecup punggungnya lembut. “Dan aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya.”

Hening mengalir di antara mereka, hanya suara mesin dan gemerisik hujan kecil di luar.

Lihat selengkapnya