Alunan musik lembut mengalun di dalam aula — gesekan biola berpadu dengan denting piano, menciptakan suasana hangat dan sakral.
Setiap nada seakan bergetar di udara, menyusup ke dada setiap orang yang hadir hari itu.
Semua tamu undangan berdiri.
Deretan kursi putih, bunga mawar, dan cahaya lampu keemasan membingkai jalan setapak menuju altar.
Dari ujung ruangan, Nina muncul dalam balutan gaun putih sederhana namun elegan.
Langkahnya pelan, ringan, namun penuh arti — seperti perjalanan panjang yang akhirnya menemukan ujungnya.
Di depan sana, Raka menunggu.
Matanya berbinar, menatap sosok yang kini berjalan mendekatinya dengan senyum yang tak pernah lebih indah dari hari itu.
Di sebelah Raka berdiri Dimas, sebagai pendamping pengantin pria.
Wajahnya tenang, namun di balik senyum lembutnya, ada gelombang emosi yang menahan diri agar tidak pecah.
Ketika Nina melangkah semakin dekat, cahaya sore yang menyusup dari jendela kaca gereja memantul di wajahnya.
Raka menahan napas.
Dimas memejamkan mata sejenak, lalu membuka — dan di sana, sesuatu terjadi.
Tepat di belakang Nina, berdiri sosok lain.
Lembut, tembus cahaya, namun nyata di matanya.
Anisa.
Gaun putih membungkus tubuhnya seperti kabut yang diterangi sinar matahari.