"Tar, pulang sekolah mau kemana? Jangan bilang, mau ke sekolahnya Thomas?" tanya salah seorang gadis, sembari mengacungkan jari telunjuknya ke wajah polos nan ayu itu.
"Kata bapak, nanti ada acara di rumah. Niatku mau langsung balik aja," jawab Tari berusaha menghindari tatapan curiga dari temannya itu. Begitu bus yang ia tunggu telah tiba, tanpa menunggu lama, kaki jenjang gadis itu langsung naik angkutan kota tersebut.
"Eh, eh, eh, main nyelonong aja. Yakin, nih ... Thomas nungguin di depan, tuh," Sarah menggedikkan bahunya, seraya menatap ke sebelah halte bus yang tersedia di seberang sekolah mereka.
Tari terdiam sejenak. Gadis dengan rambut sebahu itupun, menatap lekat punggung seorang pria yang dibalut oleh jaket kulit berwarna pekat. Thomas, ia kenal baik dengan postur pria itu. Namun, ia kembali mengingat ucapan sang bapak.
"Udah lah, Sar. Biarin aja," responnya dengan nada melemah. Sembari menunggu bus yang ditumpanginya berjalan, gadis itu meremat tas sekolahnya dengan cemas. Ia tak ingin Thomas melihatnya.
"Kamu putus sama Thomas, Tar?" tebak Sarah yang membuat kedua mata temannya langsung mendelik. Namun, Tari tak kunjung memberinya respon apapun. Hal itu membuat tanda tanya besar mulai muncul dibenak Sarah. Pasalnya, meskipun berbeda keyakinan, Tari dan Thomas sudah terbiasa bersama.
Terhitung sejak mereka kelas 2, sudah menjadi hal yang biasa bagi teman-teman, jika melihat Tari dijemput oleh siswa SMA Kristen tersebut. Desas-desus mengenai keduanya yang menjalin hubungan, tentunya menjadi perbincangan publik.
"Bapak ngelarang aku, Sar. Nggak etis kalo aku terlalu sering bareng dia," Tari menunduk dalam, tak ingin menyaksikan pemandangan di depan sana. Sebenarnya sulit, ditambah lagi, ia sudah terlalu sering berinteraksi dengan Thomas.
"Ya, gimana lagi? Bapakmu ada benarnya. Aku juga khawatir, nanti kamu dikira morotin dia. Apalagi dia anak orang berada. Lain cerita sama kita-kita ini, kan?" timpal Sarah dengan nada yang ia rendahkan.
Bus mulai melaju, meninggalkan sekolah mereka yang berada di tengah kota. Cuaca tak begitu terik, sedikit menyisakan hawa dingin khas daerahnya tinggal. Tari menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus bayang-bayang Thomas dalam benaknya.
Mungkin memang benar. Ini saat yang tepat untuk menjauhi Thomas. Pria baik yang selalu mengerti posisi Tari, anak gadis biasa.
"Duluan, ya, Tar? Jangan ngalamun, hati-hati dijalan," seru gadis berkacamata itu sembari menepuk pundak kiri temannya. Setelah mendapatkan respon, keduanya berpisah di halte sekitar universitas kota, dekat dengan rumah Sarah.
Usai temannya turun dari bus, Tari mulai melamun. Ucapan bapak kembali terngiang ditelinganya. Namun, gadis itu terkejut lantaran mendengar suara seseorang dari arah luar jendela bus. "Tari, aku tau kamu di dalam! Pak, tolong hentikan busnya!"
Thomas. Satu nama langsung terlintas dibenak Tari. Benar saja, begitu ia menatap ke arah luar, ia mendapati motor hitam itu melaju mengikuti kecepatan bus. Sontak, ia mendelik panik dan tak percaya menyaksikan perbuatan pria itu.