Blurb
Serat Centhini yang digubah Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kiai Mohammad tersebut merupakan karya masterpiece dan sekaligus sebagai ensklopedi Jawa Karena selain mengungkapkan kisah tentang pengembaraan beberapa tokoh, semisal: Syekh Amongraga, Jayengsari, Niken Rancangkapti, Cebolang, Jayengresmi (Jayengwesthi), Jayengraga, Niken Tambangraras, Centhini, dll; Serat Centhini pula mengungkap berbagai tradisi, budaya, dan kearifan masyarakat Jawa.
Berangkat dari nilai-nilai kultural, edukatif, dan filosofis baik tersurat maupun tersirat di dalam Serat Centhini; maka serat yang ditulis dengan bentuk rangkaian pupuh tembang macapat berbahasa Jawa tersebut layak ditelaah, direinterpretasikan, dan digubah ke dalam bentuk karya fiksi (novel) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini agar nilai-nilai yang terkandung di dalam serat tersebut dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Serat Centhini yang menjadi sumber inspirasi dalam Novel Modern: CENTHINI GUGAT [Kupu Putih Desa Jurang Jangkung] merupakan karya yang menjawab bahwa wanita Jawa bukan sekadar kanca wingking dan patner seks. Namun, wanita lebih diposisikan sebagai insan pemberani, pejuang, dan pembaharu. Hal ini dapat ditilik melalui tokoh-tokoh: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi. Putra semata wayang Centhini yang merupakan tokoh utama dalam novel ini.
Karenanya dengan membaca novel ini, Anda tidak hanya dapat mengikuti kisah dalam Serat Centhini, namun pula dapat mengambil nilai-nilai kearifan di dalamnya. Termasuk nilai-nilai kearifan masyarakat Jawa terhadap peran seorang wanita yang bukan sebagai obyek, namun sebagai subyek yang turut mewarnai kanvas zaman agar lebih beradab.